Menapaki Puncak Sumatera Dengan Tiga Pendekar
MENAPAKI
PUNCAK SUMATERA DENGAN
TIGA
PENDEKAR
“
Deru nafas kami semakin tak beraturan,
persendian tulang disetiap sudut tubuh ini sudah mulai memberontak, awan hitam
telah mengintai dari kejahuan, namun setitik cahaya itu semakin kami dekati
semakin ia menjauh, kami pegang ujung-ujung tangan diantara kami dengan kuat,
saling mendorong dan menarik hingga kami melangkah diatasnya.
Dengan
langkah kaki yang pasti kami mulai memasuki pintu rimba, jalur pendakian Gunung
kerinci. Suasanan pintu rimba sudah lansung memberikan aroma perjuangan bagi
kami untuk dapat melangkah diatap Sumatera itu. Dengan menyandang satu tas
ransel yang tidak terlalu berat isinya, maklum saja ini adalah pengalaman
mendaki gunung pertama bagi saya, jadi saya tidak dibebankan membawa perbekalan
yang berlebihan. Sedangkan tiga orang teman saya yaitu Al, Eril dan Iman, bagi
mereka mendaki gunung bukanlah hal yang baru, tentunya dengan pengalaman mereka
yang sudah mentaklukan puncak Gunung Talak dan yang lainnya, jadi mereka
dibebankan membawa perlengkapan dan peralatan mendaki yang agak berlebih.
Bagi saya, pengalaman mendaki hari ini merupakan
pengalaman yang sangat istimewa, karena langsung mendaki Gunung tertinggi di
Pulau Sumatera ini, apalagi saya ditemani oleh tiga manusia yang luar biasa
yang saya sebut sebagai pendekar.
Iman, adalah pendekar yang
pertama, nama lengkapnya adalah Irmanto Rahman, lahir di Kota Padang, beberapa
tahun yang lalu, mungkin beda-beda sedikit dengan saya. Dia adalah orang yang
frontal, berkata apa adanya, suka bergurau, dan dia adalah alasan kami jika kami
tertawa. Namun dibalik itu semua, dia adalah seorang Duta Bahari kota Padang,
sebuah prestasi yang belum tentu bisa diraih oleh semua orang. Dengan gaya sok polos
namun menghanyutkan Iman sering menjadi bahan candaan kami, namun demikian dia
tidak marah karena memang seperti itulah kedekatan kami.
Dalam perjalanan
menelusuri puncak Sumatera kali ini, Iman membawa barang bawaan sedikit berat,
dalam carel yang setia di punggungnya disana bertumpu seluruh bahan makanan dan
persedian kami lainnya, ditambah dengan barang-barang pribadinya. Ketika jalur
pendakian sudah mulai agak menanjak, raut keletihan dan kelelehan tergambar
diwajahnya, namun dia sungkan untuk mengatakan.
Al ( Syahwaldi Marshal) dan Eril (Eril Sastra Hadi), merupakan
pendekar kembar berbeda rahim, kedua pendekar ini selalu kompak dan solit
dimanapun mereka berada. Walaupun secara fisik mereka sangatlah berbeda, yang
satu tinggi menjulang seperti Menara Eiffel di Paris sedangkan yang satu lagi
juga tinggi menjulang bagaikan Jam Gadang di Bukittinggi. Al memiliki badan
besar dan tinggi sedangkan Eril sebaliknya. Namun perbedaan ini tidak menjadi
hambatan bagi mereka untuk menunjukan sebuah kerja sama dan kekompakan.
Al dan
Eril memiliki perjanjian diawal pendakian, mereka akan saling bergantian
membawa sebuah carel yang juga cukup besar, mula-mula perjalanan carel itu saya
lihat berada di punggung Al, sedangkan Eril berjalan dengan santainya. Namun hanya
dalam perjalanan singkat lebih kurang 40 menit perjalanan, carel itu sudah berpindah
ke punggung Eril. Saya sebenarnya agak kasihan melihat Eril, karena carel yang
dia bawa hampir sama tinggi dengan dirinya hehehe.
Pendakian
sudah hampir menuju puncak, saya dengan tiga orang pendekar ini tidak sabar
lagi untuk melangkah diatasnya, namun jalur yang kami lalui semakin terjal dan
berbahaya, sedikit saja kami salah langkah akibatnya akan fatal. Saya melirik
kepada Iman, wajahnya yang pucat pasi, tubuh gemetaran, saya tahu pasti kalau
seluruh tubuhnya menawan sakit, namun dia selalu menampakan gelora semangat yang
tinggi, mungkin inilah pendidikan karakter yang dia miliki pantang menyerah.
Saya mengalihkan
pandangan kepada dua pendekar kembar, Al dan Eril, Al dengan tubuh besarnya
terlihat jelas kesulitan mengatur nafas, maklum dia juga tergolong perokok
kelas menengah hehehe, sandal jepit yang dia beli di dekat jalur pendakian
sudah ditambah talinya dengan menggunakan tali plastik, saya tahu dia amat
kelelahan, tubuhnya memberontak, namun jiwa seorang pendekar menggelora di
hatinya, pantang untuk tidak sampai di puncak.
Lain halnya
dengan Eril, pendekar yang satu ini tidak kelihatan terlalu lelah, mungkin
karena tubuhnya yang kecil atau ada azimat penguat tenaga. Dia dengan santai
duduk disebelah Al sambil menikmati rokok Sampoena Hijau di jarinya. Saya ingin
belajar banyak kepada seorang Eril, daya tahan tubuhnya begitu bagus dan baik,
diantara kami dialah yang paling bagus daya tahan tubuhnya.
Akhirnya
kami semua sampai di puncak Sumatera, dengan saling mendorong dan menarik,
menguatkan satu sama lain, puncak Sumatera ini dapat kami taklukan. Saya dan
tiga orang pendekar ini sudah meninggalkan jejak di puncak paling tinggi di
pulau ini, terima kasih sahabat atas pengalaman yang berharga ini, tentu ini
sangat sayang untuk dilupakan, lain kali kita akan tinggalkan jejak kita di
puncak-puncak yang lebih tinggi.
Randa
Irmanto
Rahman
Syahwaldi
Marshal
Eril
Sastra Hadi
Puncak Sumatera, 10 Januari 2018
………….
Komentar
Posting Komentar