MTQ Kab Tanah Datar Ke-40 Cabang M2IQ: KEPEMIMPINAN ULAMA DAN UMARA'
NOMOR PESERTA: IQ. 18
SINERGI KEPEMIMPINAN
ULAMA DAN UMARA’
A.
PENDAHULUAN
Perihal
kepemimpinan merupakah sebuah sunnatullah yang telah berlaku sejak diutusnya
manusia pertama ke permukaan bumi ini yaitu nabi Adam as, proses kepemimpinan
terus berlanjut hingga disempurnakan oleh nabi Muhammad SAW. Konsep
kepemimpinan nabi Muhammad SAW merupakan bentuk aplikasi sistem kepemimpinan
yang paling baik dan sempurna, hal ini dibuktikan dengan keberhasilan nabi
Muhammad SAW mengubah tatanan kehidupan
masyarakat Arab jahiliyah dan berhasil membentuk struktur kehidupan yang lebih
baik. Pengakuan ini tidak hanya
dari kalangan muslim namun juga diakui dari kalangan non muslim seperti yang
dituliskan oleh Michaael H. Hart dalam bukunya ”100 A Ranking Of The Most Influential Person in History” atau 100 Tokoh Paling
Berpengaruh di Dunia. Dalam bukunya itu dia meletakkan nabi Muhammad SAW pada
urutan pertama dan Tuhannya sendiri Yesus Kristus pada urutan ketiga.
Setelah
berakhirnya periode kepemimpinan nabi Muhammad SAW, ditandai dengan
wafatnya nabi Muhammad SAW. Menimbulkan luka yang mendalam dikalangan umat.
Bahkan seorang sahabat yang sangat ditakuti oleh masyarakat Arab Jahiliyah yang
terkenal dengan keberaniannya
dibuat tidak berdaya ketika mendengar kabar nabi Muhammad SAW wafat, sahabat
tersebut adalah Umar Bin Khatab. Umar Bin Khatab adalah sahabat yang sangat
mencintai dan menyayangi nabi Muhammad SAW, tatkala kabar wafatnya nabi
Muhammad SAW tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Umar Bin Khatab berkata
“siapa yang menyampaikan berita wafatnya baginda nabi Muhammad SAW akan
kupisahkan kepala dan badannya”, begitulah kesedihan yang dirasakan Umar Bin
Khatab dan sahabat lainnya.
Wafatnya
nabi Muhammad SAW tidak hanya membuat umat bersedih karena kehilangan, namun
juga membuat umat khawatir tentang sosok pemimpin dan panutan sesudah beliau,
karena setelah nabi Muhammad wafat terdapat kekosongan dalam menjalankan sistem
kepemimpinan. Persoalan ini akhirnya terjawab setelah munculnya konsep
kepemimpinan baru di tengah-tengah umat yang disebut dengan sistem kepemimpinan
Khulafaur Rasyidin.
Sistem
kepemimpinan Khulafaur Rasyidin merupakan
sistem pemerintahan lanjutan setelah masa kepemimpinan kenabian. Permimpin
pertama dari kalangan Khulafaur Rasyidin adalah
Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq. Pengangkatan Abu Bakar Ash Shidiq sebagai pemimpin
baru melalui pembaiatan oleh kaum muslimin, setelah di bai’at maka Abu Bakar Ash
Shidiq secara resmi telah menduduki bangku kepemimpinan. Kepemimpinan Abu Bakar
dilanjutkan oleh penerusnya yang ditunjuk lansung oleh Abu Bakar yaitu Umar Bin
Khatab, kepemimpinan Umar Bin Khatab dilanjutkan oleh Ustman Bin Affan dan ditutup
dengan Kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib.
Periode
kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib merupakan fase terakhir dari masa kepemimpinan Khulafaur
Rasyidin. Berakhirnya kepemimpinan Khulafaur
Rasyidinbukan berarti sistem kepemimpinan umat berakhir. Kepemimpinan umat
masih tetap berlajut hingga hari ini.
Sistem
kepemimpinan umat terus berkembang dari masa ke masa, pada era globalisasi hari
ini, sistem kepemimpinan terus berlanjut dan silih berganti dari satu pemimpin
kepada pemimpin yang baru. Namun jika dilihat dengan cermat, sistem
kepemimpinan umat hari ini sudah mulai jauh dari sistem kepemimpinan yang
dicontohkan oleh nabi Muhammad dan para sahabat.
Permasalahan
yang terjadi di tengah-tengah umat tidak bisa kita pisahkan dari sistem dan
pemimpin yang bertugas, karena pemimpin dan sistem kepemimpinannya merupakan
nahkoda utama yang akan membawa dan mengarahkan umat ke jalan yang
diinginkannya. Berbagai permasalahan umat dewasa ini muncul kepermukaan,
seperti kemerosotan aqidah dan akhlak, kemiskinan, pendidikan hingga
menyebabkan pengangguran. Tidak hanya sampai disitu, permasalahan juga muncul
di kalangan pemimpin itu sendiri, tidak sedikit hari ini pemimpin di dunia
secara umum dan secara khusus di bangsa ini juga mengalami persoalaan.
Permasalahan
pemimpin hari ini dapat kita tinjau dari dua aspek kecil. Pertama dari segi
internal pemimpin itu sendiri, permasalahan yang muncul dari pemimpin itu
sendiri seperti pemimpin yang tidak memiliki moral dan rasa malu, hal ini
berhulu dari satu hulu yang sama yaitu tidak mantapnya aqidah yang dimiliki
oleh pemimpin tersebut. Kedua dari segi external pemimpin, permasalahan yang
datang dari luar pemimpin.
Aspek yang paling
menonjol dalam masalah ini adalah jauhnya pemimpin dari ulama, bahkan yang
lebih mencengangkan adalah adanya pemimpin-pemimpin yang melakukan tindakan
kriminalisasi terhadap sebagian ulama. padahal ulama adalah pewaris nabi dalam
menyampaikan risalah kebaikan. Sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Shahih Sunan Abu Daud.
Artinya:
“Sesungguhnya Ulama adalah pewaris para
Nabi”. (HR. Abu Daud. No. 3157)
Hadist
tersebut menunjukkan kepada kita bahwa ulama merupakan seseorang yang sudah
mendapatkan petunjuk dalam berbagai
persoalan termasuk masalah
kepemimpinan, karena mereka merupakan pewaris nabi dalam persoalan risalah
keislaman. Jika merujuk kepada hadist diatas maka penulis berkesimpulan jika
pemimpin jauh dari ulama maka kepemimpinan akan jauh dari kata baik, namun jika
pemimpin dekat dengan ulama serta meminta nasehat dan fatwa kepada ulama tentu
kepemimpinannya akan dibantu dan dimudahkan oleh Allah.
Kepemimpinan
yang baik dalam Islam adalah adanya sinergi dan kombinasi kepemimpinan umara’
dan ulama. Hal ini diperkuat dengan hadist nabi Muhammad SAW:
Atinya:
“Ada dua golongan, apabila mereka baik
maka orang banyak akan baik, apabila mereka rusak maka orang banyak akan rusak.
Yang dimaksud dengan dua golongan tersebut adalah Umara’ (pemimpin) dan Ulama.”
(HR. Abu Na’im dalam kitab Al-Hulyah
dan Ibnu Abdilbar dalam kitab al-Istizkar jilid 8 Hal. 72)
Hadist
ini juga dipertegas oleh Firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 43 mengenai kombinasi
pekerjaan mengurus umat yang tidak dapat diselesaikan oleh umara’.
Artinya:
“...... maka bertanyalah kepada
orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya.”
Maksud
orang-orang yang mempunyai pengetahuan pada ayat diatas adalah para ulama. Jika
saja umara’ dan ulama di seluruh dunia secara umum dan Indonesia secara khusus bahu membahu dalam menjalankan tugasnya,
insya Allah umat akan terbawa dan terpimpin dengan baik. Namun hari ini antara
pemimpin dan ulama seperti ada jurang pemisah diantara keduanya, sehingga
melahirkan tirani kepemimpinan yang berujung pada ketidak sejahteraan umat.
Melihat situasi seperti ini penulis memberikan sebuah solusi dalam persoalan
ini sesuai dengan topik yang penulis ajukan yaitu Sinergi Kepemimpinan Ulama
dan Umara’ Solusi Permasalahan Umat.
B.
URGENSI
KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
Manusia
merupakan makhluk sosial yang hidup selalu berdampingan dengan makhluk lainnya,
sudah merupakan Sunnatullah dan
ketentuan Ilahi bahwa tidak ada satupun manusia yang dapat hidup seorang diri,
setiap manusia membutuhkan manusia yang lainnya, termasuk persoalan
kepemimpinan, karena manusia perlu adanya petunjuk dan rambu-rambu kehidupan,
dan rambu-rambu kehidupan tersebut termaktub dalam undang-undang dan dirumuskan oleh pemmipin melalui sistem
pemerintahan.
Sekelompok
umat jika hidup tanpa adanya kepemimpinan maka akan timbul berbagai persoalan,
mulai dari persoalan perorangan antar umat hingga persoalan bersama. Maka dari
itu, kepemimpinan merupakan sebuah hal yang penting dan urgen dalam kehidupan
umat. Bahkan sejarah kepemimpinan sudah dimulai sejak diutusnya manusia pertama
ke permukaan bumi ini yaitu nabi Adam as, hal ini senada dengan firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 30:
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka
berkata, mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman,
sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Ayat
tersebut menjelaskan bahwa fungsi utama manusia diciptaka adalah sebagai khalifah.
Kata Khalifah berasal dari kata Khalaf
yang berarti pengganti, penerus, orang yang bertanggung jawab dan mengemban
amanah. Jadi dapat kita sederhanakan bahwa penciptaan manusia bertujuan untuk
menjadi pemimpin dan mengemban amanah kepemimpinan. Dengan demikian,
kepemimpinan merupaakan sunnatullah yang berlaku di muka bumi.
Sejalan dengan firman Allah
tersebut, urgensi kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu keniscayaan, bahkan
nabi Muhammad SAW mengingatkan dalam batas dan wilayah yang sangat kecil yaitu
dalam perjalanan. Seperti yang nabi Muhammad SAW jelaskan dalam hadistnya yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Riyadus Shalihin jilid 2.
Artinya:
Dari Abu Sai’d Abu Hurarirah ra berkata,
Rasulullah SAW bersabda” Apabila ada tiga orang berpergian bersama-sama maka hendaklah mereka memilih
salah seorang diantara mereka untuk mejadi pemimpin rombongan.” (HR. Abu Daud)
Hadist
diatas menerangkan dengan jelas urgensinya pemimpin bagi umat, pada hadist ini
nabi Muhammad menyinggung dalam perkara yang sangat kecil yaitu perjalanan, apalagi perkara yang
meliputi kehidupan dalam satu wilayah.
Urgensi
kepemimpinan juga diperkuat dengan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 15
dan 16:
Artinya:
“Wahai ahli kitab! Sungguh, Rasul kami
telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak pula
yang dibiarkannya. Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab
yang menjelaskan” (15). Dengan kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang
mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orag itu dari gelap gulita kepada cahaya dengan izin-Nya dan
menunjukan ke jalan yang lurus” (16).
Asbabun
Nuzul ayat ini adalah tatkala ada salah seorang dari golongan Yahudi yang
melakukan zina muhshan[1].
Lalu mereka mendatangi nabi Muhammad SAW
dan bertanya tentang hukum rajam terhadap pelaku zina muhshan, kemudian nabi
Muhammad SAW bertanya “siapa diantara kalian yang paling pandai?”, mereka
menunjuk Ibn Shuriya. Lalu nabi Muhammad menyumpahnya dengan Zat yang
menurunkan Taurat kepada Musa dan Zat yang mengangkat Gunung Thur, serta
perjanjian-perjanjian antara mereka hingga dia gemetaran, lalu dia berkata
“Sesungguhnya ketika banyak orang yang dibunuh karena melakukan zina, akhirnya
kami hanya menghukum pelakunya dengan cambuk seratus kali dan kepalanya digunduli.
Akhirnya orang Yahudi yang melakukan zina diberi hukum rajam[2].
Menurut
Ibnu Katsir,
dalam ayat ini Allah menyampaikan bahwa Dia telah mengutus seorang Rasul
(pemimpin), Muhammad SAW dengan membawa petunjuk dan agama yang benar kepada semua
penduduk bumi. Penulis berendapat ayat ini merupakan
bukti urgensinya pemimpin dalam Islam, karena pemimpinlah yang akan memberikan
arahan kepada umat menuju jalan yang benar.
Kepemimpinan
merupakan seuatu yang sangat urgen dan penting di tengah-tengah umat. Karena
dengan keberadaan pemimpin bagi umat tentu akan menciptakan tatanan kehidupan
yang jauh lebih baik. Sebab dengan kehadiran pemimpin akan mengayomi umat,
pemimpin akan mendatangkan rasa aman dan nyaman terhadap umat, pemimpin akan
melindungi umat dan menegakkan
keadilan sesuai dengan undang-undang dan syari’at serta akan membawa umat
kejalan kebaikan guna mencapai kesejahteraan bersama serta mewujudkan
masyarakat madhani.
C.
PERMASALAHAN
KEPEMIMPINAN
Setiap
perihal kehidupan tidak akan pernah terlepas dari permasalahan, baik permasalah
itu besar ataupun kecil, masalah yang datang dari diri sendiri maupun masalah
yang datang dari luar diri. Masalah yang muncul seharusnya menjadi batu pijakan
bagi kita untuk dapat menjadi lebih baik, namun apa jadinya jika masalah yang
muncul itu-itu saja?. Termasuk masalah kepemimpinan.
Permasalahan
kepemimpinan perlu mendapatkan
perhatian khusus dari semua kalangan, karena kepemimpinan merupakan tiang dari
suatu pemerintahan. Jika permasalahan kepemimpinan dibiarkan begitu saja dalam
satu pemerintahan tentu akan berakibat buruk kepada umat di wilayah tersebut.
Sumber
permasalahan kepemimpinan dewasa ini dapat kita lihat dari dua faktor:
Faktor Internal
(masalah yang berasal dari pemimpin itu sendiri).
Kepribadian seorang pemimpin akan
menentukan bentuk dan jalam kepemimpinan yang dia lakukakan. Jika seorang
pemimpin memiliki kepribadian yang baik tentu kepemimpinannya juga baik, jika
seorang pemimpin berkharismatik tentu kepemimpinanya disegani oleh orang lain.
Misalnya kita lihat kepribadian seorang Proklamator bangsa ini Ir. Soekarno,
beliau merupakan seorang pemimpin yang berkharismatik dan berwibawa. Maka
pemerintahan Indonesia dibawah kepemimpinannya disegani oleh negara lain.
Bahkan
sejarah membuktikan kepribaadian Soekarno yang kharismatik, tatkala dua blok
besar di dunia bersiteru antara Uni Soviet dan Amerika Serikat, pada tahun 1961 presiden Uni Soviet Khrushchev mengundang presiden
Soekarno agar berkunjung ke negaranya. Melihat situasi dan kondisi presiden Soekarno takut memenuhi
undangan tersebut karena takut dituduh berpihak kepada salah satu blok
tersebut. Namun presdien Soekarno merasa segan jika tidak memenuhi undangan
tersebut, maka presiden Soekarno dengan kharismatiknya berkata “Saya, akan
berkunjung ke negara anda jika anda bisa menemukan salah satu makam ahli hadist
ternama”. Akhirnya makam ahli hadist itu ditemukan setelah presden Uni Soviet
mengerahkan ratusan prajuritnya untuk mencari makam tersebut. Makam ulama ahli hadist tersebut adalah makam Imam
Bukhari di Samarkhand. Maka
presiden
Soekarno akhirnya berkunjung ke Uni Soviet. Hal ini membuktikan bahwa kepribadian seorang pemimpin
berdampak terhadap sistem kepemimpinannya.
Namun
belakangan ini permasahan kepemimpinan adakalanya bersumber dari kepribadian
dan diri pemimpin itu sendiri. Jika seorang pemimpin memiliki moral yang tidak
baik tentu akan melahirkan permasalahan dalam kepemimpinannya. Pemimpinan yang
memiliki moral yang tidak baik akan menjalankan kepemimpinannya sekehendak
hatinya tanpa memperhatikan umatnya.
Jika
kita merujuk kepada sistem kepemimpinan Indonesia hari ini, nampaknya persoalan
moral pemimpin merupakan salah satu masalah yang tidak bisa di pandang sebelah
mata. Tidak asing lagi ditelinga kita, kabar-kabar yang dimuat dalam
media-media elektronik maupun cetak, berbagai permasalahan silih berganti
menghampiri kepemimpinan Indonesia. Permasalahan yang menjerat pemimpin
Indonesia hari ini tidak pandang bulu, bahkan bisa dikatakan semua lembaga yang
memiliki pemimpin di Indonesia tersandung berbagai masalah, mulai dari politikus
partai, pimpinan yayasan dan kampus, pimpinan lembaga agama maupun lembaga
hukum hingga persoalan kepemimpinan dalam rumah tangga.
Masih
teringat dengan jelas oleh kita beberapa tahun yang lalu seorang pimpinan
lembaga agama tertinggi di bangsa ini harus mendekam dibalik jeruji besi karena
tersangkut kasus korupsi. Masih hangatnya masalah ini, muncul lagi masalah baru,
seorang anggota dewan yag mewakili suara rakyat di pemerintahan tertangkap
kamera CCTV sedang meenonton video porno ketika sidang membahas persoalan
rakyat berlansung. Belum hilang itu dari ingatan kita, kita dikejutkan lagi
dengan kasus yang menjerat pimpinan lembaga hukum tertinggi di bangsa ini,
disusul dengan tertangkap tangannya seorang gubernur di salah satu provinsi di
pulau Sumatera sedang melakukan transaksi suap menyuap. Bahkan di bumi Ranah
Minang sendiri, disalah satu Kabupaten, seorang pimpinan Wakil Rakyat yang
mewakili suara rakyat di pemerintahan, tertangkap basah sedang melakukan
hubungan suami istri dikamar hotel dengang istri temannya sendiri dan masih
banyak lagi kasus-kasus dan skandal yang menjerat pemimpin bangsa ini.
Berbagai
asumsi hadir untuk membahas persoalan ini, ada yang berkata ini adalah sebuah
kesalahan dan jebakan serta
ada pula yang berusaha sekuat tenaga membela mereka. Apapun yang terjadi dibalik semua
masalah yang melibatkan pemimpinpan bangsa ini, inilah yang muncul kepermukaan
dan sudah menjadi komsumsi sehari-hari bagi masyarakat.
Faktor External (masalah
yang datang dari luar diri pemimpin).
Permasalahan kepemimpinan yag muncul
ke permukaan tidak hanya dapat kita asumsikan berasal dari dalam diri pemimpin
itu sendiri, namun juga dapat kita lihat dari luar diri pemimpin tersebut,
salah satunya adalah adanya jarak antara pemimpin (Umara’) dengan ulama.
Padahal ulama adalah orang yang memiliki kecerdasan dan ilmu, dengan demikian
ulama merupakan tempat bertanya dari berbagai persoalan tidak hanya persoalan
agama saja.
Kepemimpinan yang berjalan hari ini
menunjukan adanya pemisah dan jarak antara penguasa (pemimpin) dengan ulama,
hal ini tentulah sangat salah dan keliru. Seharusnya antara pemimpin dan ulama
harus menjalin komunikasi yang intens demi meencapai kemaslahatan umat.
Jika
kita merujuk kepada kepemimpinan Indonesia hari ini, pemimpin-pemimpin
Indonesia hanya menjalin kerja sama dan komunikasi dengan ulama dalam perkara
agama saja. Hal ini tentu tidak sesuai dengan yang seharusnya, karena ulama
adalah golongan yang diberikan kelebihan oleh Allah dalam segala bidang ilmu
pengetahuan. Ulama adalah tempat bertanya dari segala persoalan yang terjadi.
Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 59:
Artinya:
“....... jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.........”
Ayat
ini memerintahkan kita, jika terjadi satu persoalan di tengah-tengah umat yang
tidak dapat terselesaikan oleh Umara’ (pemimpin) maka jalan keluar yang paling
baik dari semua itu adalah mengembalikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Al-Qur’an dan Sunnah membutuhkan pemahaman yang tinggi dan ulama adalah orang
yang paham terhadap al-Qur’an dan Sunnah, maka persoalan tersebut ditanyakan
dan dilarikan kepada ulama.
Jika
pemimpin jauh dari ulama maka akan berakibat munculnya berbagai permasalahan,
mulai dari masalah kepribadian (aqidah dan moral) hingga permasalahan lainnya
yang berhubungan dengan kemaslahatan umat, serta pemimpin-pemimpin yang jauh
dari ulama akan terjerat berbagai macam kasus sebagaimana yang sudah penulis
tuliskan sebelumnya.
D.
KEPEMIMPINAN
ULAMA DAN UMARA’
Melihat
permsalahan diatas, solusi yang paling tepat adalah adanya kepemimpinan yang
bersinergi dengan ulama atau lebih dikenal dengan Umara’ dan Ulama.
Pengertian
Ulama. Ulama merupakan jamak dari kata ‘Alim turunan dari kata Ilmu
yang merupakan salah
satu dari sifat wajib bagi Allah yang berarti mengetahui. Secara sederhana
ulama merupakan orang terdidik dan mempunyai pengetahuan mengenai Islam. Ulama merupakan
komponen penting dalam masyarakat, ulama adalah tempat umat menyandarkan segala
sesuatu persoalan yang membutuhkan jalan keluar. Bahkan nabi Muhammad SAW
menegaskan dalam hadistnya:
Artinya:
““Sesungguhnya Ulama adalah pewaris para
Nabi”. (HR. Abu Daud. No. 3157).
Tidak
hanya sampai disitu, Allah pun juga menegaskan bahwa Ulama adalah sosok yang
dapat menjadi jalan keluar dari berbagai masalah dan persoalan, seperti yang
Allah tegaskan dalam surat an-nahl ayat 43 dan surat an-Nisa’ ayat 59:
Artinya:
“...... maka bertanyalah kepada
orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya.”
Artinya:
“....... jika kamu berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian.........”
Kedua
ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa ulama merupakan komponen penting yang
memiliki tugas dan tanggung jawab serta pengetahuan dari berbagai persoalan.
Melihat hal ini sudah seharusnya dan semestinya seorang ulama dilibatkan dalam
sistem kepemimpinan dan kepemerintahan sebagai referensi bagi pemimpin untuk
membuat keputusan dan melaksanakan sebuah keputusan.
Menurut
Ibn Utsaimin dalam Syarah Riyadus Shalihin jilid 4 halaman 307-098. Ibn
utsaimin membagi ulama kedalam tiga keompok besar. Pertama. Alim al-Millah.
Merupakan ulama yang memiliki tugas mengeluarkan fatwa dan mensyiarkan agama Islam. Golongan ulama ini
merupakan ulama yang memahami agama secara mendalam. Kedua.
Alim
ad-Daulah. Merupakan ulama yang seharusnya dimasukan ke dalam sistem
pemerintahan, karena golongan ulama ini adalah ulama yang memahami ilmu
pemerintahan dan kenegaraan.
Ketiga. Alim al-Ummah.
Merupakan ulama yang menyadari dan bertugas untuk kemaslahatan umat, ulama golongan
ini adalah ulama yang paling paham uruasan keumatan karena kebanyakan ulama
dari golongan ini adalah ulama yang hidup lansung dengan umat.
Al-Qur’an
juga memberikan keterangan-keterangan
mengenai ulama, dalam al-Qur’an terdapat dua macam ulama, pertama Ahlul ‘Ilmi, merupakan ulama yang
memiliki ilmu pengetahuan dan kecerdasan mengenai ilmu agama. Kedua Ahlul Zikri, merupakan ulama yang selalu
mengajak dan mengingatkan kepada prinsip ketauhidan.
Untuk
dapat mencapai kemaslahatan umat dan kesejahteraan bersama diperlukan adanya
suatu sistem kepemimpinan yang merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah. Istilah
kepemimpinan dalam al-Qur’an memiliki beberapa akar kata, diantaranya:
Khalifah.
Kata khalifah berasal dari kata khalaf
yang memiliki arti penerus, pengganti, dan
pengemban amanah.
Imamah.
Berasal dari kata amama yang memiliki
arti di depan, yang didahulukan dalam pengkajian sesuatu.
Imaroh.
Berasal dari kata amarah yang
memiliki atri orang yang menyuruh, memerintah, memberikan pengarahan.
Auliya’/wali.
Kata auliya’ atau wali dalam al-Qur’an berkomprommi dengan dua huruf “jar” yang
memiliki makna kontradiktif. Yaitu huruf A’m
yang berarti menjauh dan huruf Mim
yang berarti mendekat.
Jadi
kata auliya’ memiliki arti seseorang yang dekat, jika dikatikan dengan kata
Allah maka wali adalah orang yang dekat dengan Allah, jika dikaitkan dengan
umat maka dia dekat dengan umat dan jika dikaitkan dengan kata Al-Amru maka dia dekat dengan
pemerintahan/pemimpin dan mengetahui persoalan kepemimpinan dan pemerintahan.
Permasalahan
umat akan teratasi
jika adanya kombinasi pemerintahan antara ulama dengan pemerintahan (Umara’),
ulama sebagai golongan tempat bertanya dalam segala persoalan, dan umara’
sebagi golongan yang akan menjalankan roda pemeritahan. Sesuai dengan hadist nabi
Muhammad SAW:
Atinya:
“Ada dua golongan, apabila mereka baik
maka orang banyak akan baik, apabila mereka rusak maka orang banyak akan rusak.
Yang dimaksud dengan dua golongan tersebut adalah Umara’ (pemimpin) dan Ulama.”
(HR. Abu Na’im dalam kitab Al-Hulyah
dan Ibnu Abdilbar dalam kitab al-Istizkar jilid 8 Hal. 72)
Hadist
ini juga dipertegas oleh Firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 43 mengenai
kombinasi pekerjaan mengurus umat yang tidak dapat diselesaikan oleh umara’.
Artinya:
“...... maka bertanyalah kepada
orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahuinya.”
Maksud
orang-orang yang mempunyai pengetahuan pada ayat diatas adalah para ulama. Jika
saja umara’ dan ulama di seluruh dunia secara umum dan di Indonesia secara khusus
bahu membahu dalam menjalankan tugasnya, insya Allah umat akan terbawa dan
terpimpin ke arah baik.
Sinergi antara Umara’ dan Ulama dapat kita
realisasikan dalam bentuk satu sistem yang tergabung menjadi satu atau
dipisahan. Bisa saja ulama dimasukkan kedalam sistem pemerintahan dan menjadi
pengawas serta menjadi pengarah bagi pemerintah, atau ulama tidak dimasukan
kedalam sistem pmerintahan. Ulama diletakkan diluar sistem pemerintahan namun
ulama dijadikan rujukan dan referensi bagi pemerintah dalam mengambil sebuah
kepeutusan, sebagai tempat bertanya dan mengeluarkan fatwa demi kemaslahatan
umat dan mencapai masyarakat madhani.
E.
PENUTUP
Setelah
berakhirnya periode kepemimpinan nabi Muhammad SAW, ditandai dengan
wafatnya nabi Muhammad SAW. Menimbulkan luka yang mendalam dikalangan umat.
Bahkan seorang sahabat yang sangat ditakuti oleh masyarakat Arab Jahiliyah yang
terkenal dengan keberaniannya
dibuat tidak berdaya ketika mendengar kabar nabi Muhammad SAW wafat, sahabat
tersebut adalah Umar Bin Khatab. Umar Bin Khatab adalah sahabat yang sangat
mencintai dan menyayangi nabi Muhammad SAW, tatkala kabar wafatnya nabi
Muhammad SAW tersebar luas di tengah-tengah masyarakat Umar Bin Khatab berkata
“siapa yang menyampaikan berita wafatnya baginda nabi Muhammad SAW akan
kupisahkan kepala dan badannya”, begitulah kesedihan yang dirasakan Umar Bin
Khatab dan sahabat lainnya.
Wafatnya
nabi Muhammad SAW tidak hanya membuat umat bersedih karena kehilangan, namun
juga membuat umat khawatir tentang sosok pemimpin dan panutan sesudah beliau,
karena setelah nabi Muhammad wafat terdapat kekosongan dalam menjalankan sistem
kepemimpinan. Persoalan ini akhirnya terjawab setelah munculnya konsep
kepemimpinan baru di tengah-tengah umat yang disebut dengan sistem kepemimpinan
Khulafaur Rasyidin.
Sistem
kepemimpinan Khulafaur Rasyidin merupakan
sistem pemerintahan lanjutan setelah masa kepemimpinan kenabian. Permimpin
pertama dari kalangan Khulafaur Rasyidin adalah
Khalifah Abu Bakar Ash Shidiq. Pengangkatan Abu Bakar Ash Shidiq sebagai pemimpin
baru melalui pembaiatan oleh kaum muslimin, setelah di bai’at maka Abu Bakar Ash
Shidiq secara resmi telah menduduki bangku kepemimpinan. Kepemimpinan Abu Bakar
dilanjutkan oleh penerusnya yang ditunjuk lansung oleh Abu Bakar yaitu Umar Bin
Khatab, kepemimpinan Umar Bin Khatab dilanjutkan oleh Ustman Bin Affan dan ditutup
dengan Kepemimpinan Ali Bin Abi Thalib.
Sistem
kepemimpinan umat terus berkembang dari masa ke masa, era globalisasi hari ini,
sistem kepemimpinan terus berlanjut dan silih berganti dari satu pemimpin
kepada pemimpin yang baru. Namun jika dilihat dengan cermat hari ini sistem
kepemimpinan umat sudah mulai jauh dari sistem kepemimpinan yang dicontohkan
oleh nabi Muhammad dan para sahabat.
Permasalahan
kepemimpinan yang muncul ke permukaan diseabkan oleh dua faktor, pertama faktor
internal, faktor yang berasal dari dalam diri pemimpin itu sendiri, seperti
persoalan aqidah dan moral. Kedua faktor external, salah satu faktor external
tersebut adalah jauhnya pemimpin dari ulama. Jika persoalan ini terus dibiarkan
tentu akan berdampak buruk terhada roda pemerintahan dan kemaslahatan umat.
Permasalahan
umat akan teratasi jika adanya kombinasi pemerintahan antara ulama dengan
pemerintahan (Umara’), ulama sebagai golongan tempat bertanya dari segala
persoalan dan tidak hanya persoalan agama, dan umara’ sebagai golongan yang
akan menjalankan roda pemeritahan dan menrapkan peraturan-peraturan yang sudah
dikaji teerlebih dahulu oleh para ulama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’annulkarim
Ahmad
Mubayyat. Eksiklopedi Akhir Zaman
Ahmad,
Sunarto. 2007. Mutiara Hadist
Bukhari-Muslim. Surabaya: Karya Agung.
A Zaeni. 2015. Khilafah Islamiyah
Dan Profil Kepemimpinan Pada Lembaga Keagamaan Di Indonesia. Jurnal. TAPIs. Vol. 11. No. 2.
Afrizal. 2003. Hubungan Ulama Dan
Umara’ Menurut Ayatullah Syari’Atmadari. Jurnal.
Al-Fikra. Vol. 2. No. 2.
Moh. Abduh. 1992. Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen.
Bandung: CV Diponegoro.
Kaizal Bay. 2011. Pengertian Ulil
Amri Dalam a-Qur’an Dan Implementasinya Dalam Masyarakat Muslim. Jurnal. Ushuluddin. Vol. XVII. No. 1.
Raihan. 2015. Konsep Kepemimpinan
Dalam Masyarakat Islam. Jurnal.
Al-Bayan. Vol. 22. No. 31.
Tim Kerohanian Islam Unit Kopri
BRI. Kumpulan Khutbah Jum’at. 1988.
Jakarta: Bidang Kerohanian Islam Unitt KOPRI.
Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an.
M. Quraish Shihab. 2002. Jakarta: Lentera Hati. Vol 1. Surat Al-Fatihah dan
al-Baqarah.
Tafsir Ibnu Katsir. Surat al-Maidah
ayat 15 sampai 18
Syaikh Shafiyyurrahman
Al-Mubarakfury. 2006. Sirah Nabawiyah.
Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Quraish Shihab. 2002. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan
Kitab
Fadhilatul Amal: Syaikhul Hadist Maulana Muhammad Zakariya Al-Kandahlawi.
Yogykarta: Ash-Shaff.
[1] Zina
Muhshan merupakan perbuatan zina yang dilakukan oleh laki-laki/perempuan yang
sudah memiliki suami/istri yang sah, kemudian melakukan hubungan suami istri
dengan laki-laki/perempuan lain.
[2] Hukum
Rajam adalah hukuman yang diberlakukan kepada pezina yang telah memilkin
suami/istri yang sah. Hokum Rajam dilakukan dengan cara dikubur hidup-hidup
sampai leher, kemudian kepala pelaku zina dilempar pakai batu sampai meninggal.
Great🖒
BalasHapusMantap randa
BalasHapus