Sebuah Laporan KKL: Jejak-Jejak PDRI di Nagari Sumpur Kudus



JEJAK-JEJAK PDRI DI NAGARI
SUMPUR KUDUS
Oleh: Randa

A.    Pendahuluan
Indonesia termasuk negara yang mengalami banyak dinamika dalam perjalanan sejarahnya sampai saat ini. Salah satu dinamika yang mungkin hampir dilupakan pada masa sekarang ini adalah ketika indonesia pernah menerapkan sistem  Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Peristiwa ini terjadi ketika Agresi Militer Belanda ke dua tahun 1948. Agresi ini masih dilakukan dengan tujuan Belanda ingin menguasai kembali daerah Indonesia yang telah memerdekakan diri 1945.
Dalam aksinya, Belanda melancarkan serangannya ke Yogyakarta dan berhasil menangkap presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta. Sebagai negara yang harus tatap mempertahankan kemerdekaannya, Indonesia tidak bisa berdiri sebagai negara jika tidak ada pemerintahan yang sah. Mengingat situasi yang semakin darurat bagi kemerdekaan Indonesia, akhirnya Sjafroeddin Prawiranegara yang saat itu berkedudukan di Sumatera Barat memutuskan untuk sidang pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Pembahasan tentang peristiwa PDRI bukan lagi menjadi hal baru di dunia pendidikan. Untuk tingkatan sekolah, Siswa telah mempelajari tentang PDRI sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Kemudian, peristiwa PDRI lebih condong dipelajari oleh jurusan sejarah untuk tingkatan perguruan tinggi, baik jurusan kependidikan maupun non kependidikan. Jurusan sejarah di UNP memiliki mata kuliah tersendiri untuk membahas tentang peristiwa PDRI, yaitu pada mata kuliah Sejarah Indonesia Kontemporer. Ada dua kegiatan utama dalam mata kuliah ini. Pertama, pembelajaran teoritis di dalam kelas. Kedua, aplikasi teori yang telah dipelajari dengan mengunjungi dan melakukan observasi terhadap peninggalan sejarah yang terkait dengan materi.
Mata kuliah Sejarah Indonesia Kontemporer saat ini lebih dominan di ambil oleh mahasiswa sejarah UNP semester VI, atau angkatan 2015. Kegiatan perkuliahan teoritik telah dilaksanakan sejak akhir Januari lalu dan memasuki minggu-minggu terakhir perkuliahan. Sebagai mata kuliah aplikatif teoritik, jurusan sepakat untuk mengadakan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL).
Objek yang menjadi pilihan kali ini adalah untuk mengunjungi peninggalan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat. Peninggalan ini berlokasi di Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung. Objek tujuan adalah Rumah Sidang PDRI dan Tugu PDRI. Tujuan utama dari KKL yang dilakukan adalah untuk melihat bukti atau peninggalan fisik dari peristiwa PDRI, tempat atau lokasi terjadinya peristiwa dan pengumpulan informasi terkait dengan peristiwa PDRI melalui wawancara dengan informan yang ada di lokasi terjadinya peristiwa.
B.     Metode
Tulisan ini bisa digolongkan menjadi laporan kegiatan KKL yang dibuat dalam bentuk makalah. Ada dua metode yang digunakan untuk mengumpulkan data, yaitu observasi dan wawancara. Kegiatan observasi dilakukan sebagai langkah awal untuk melihat aspek-aspek empiris terkait dengan peristiwa PDRI. Kemudian juga dilakukan metode wawancara untuk mengumpulkan informasi yang lebih mendalam.
Sistematika penulisan diawali dengan kegiatan kunjungan ke lapangan untuk mengumpulkan data melalui observasi dan wawancara. Kegiatan ini telah dilakukan 12-13 Mei 2018 di Sumpur Kudus, Sijunjung. Kemudian data-data yang telah diperoleh dikelompokan ke dalam bagian-bagian yang sejenis. Tujuannya adalah agar lebih mudah dalam membuat rangkaian narasi terkait peristiwa PDRI berdasarkan hasil kegiatan KKL. Pada bagian terakhir dilakukan penulisan makalah tentang peristiwa PDRI.
C.    Hasil Penelitian
1.      Peristiwa dan Hasil Wawancara Informan
PDRI bukan saja dianggap sebagai pemerintahan sementara melainkan sebuah konsep yang dibentuk demi tercapainya Indonesia merdeka. Waktu pemberlakuannya memang singkat, 22 Desember 1948 sampai dengan 13 Juli 1949, namun pengaruh dari PDRI sangat besar. Pertama, keputusan yang dibuat oleh Sjafroeddin Prawiranegara berhasil menjadi gagasan untuk mempertahankan Indonesia ketika Soekarno, Hatta dan pejabat pemerintahan lainnya ditangkap Belanda. Kedua, Keberhasilan PDRI di Sumatera Barat menyebabkan mandat pemerintahan darurat tidak perlu diserahkan kepada pimpinan Republik di luar negeri. Kemudian terdapat juga pengaruh yang tidak berdampak politis namun lebih ke sosial-pergerakan masyarakat Sumatera Barat.
Mr. Syafruddiddin Prawiranegara ketika Yogyakarta di serang memegang status sebagai menteri Kemakmuran dan sedang bertugas di Bukittinggi. Beliau dengan sigap menanggapi keadaan genting Indonesia lewat rapat darurat sore hari tranggal 19 Desember 1948, beberapa jam setelah sidang kabinet di Yogya. Rapat darurat di Bukittinggi itu melahirkan gagasan PDRI. Ketika itu Bukittinggi juga tidak lagi aman karena Belanda telah masuk di hari yang sama dengan penyerangan Yogyakarta.
Keputusan yang di ambil adalah mengungsi ke daerah yang lebih aman. Dalam perjalanan mengungsi, meninggalkan Kota Bukittinggi tanggal 21 Desember, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan rombongan singgah semalam di Halaban, sebuah nagari di lereng Gunung Sago, sekitar 13 km dari Kota Payakumbuh.[1] Selanjutnya rombongan PDRI mulai melanjutkan perjalanan mengungsi. Perjalanan yang dilakukan cukup lama dan banyak tempat yang telah dikunjungi demi memperoleh tempat yang aman untuk melakukan sidang terkait dengan kelanjutan Indonesia. Pada akhirnya sidang berhasil dilaksanakan 14 -17 Mei 1949 di Silantai, Sumpur Kudus, Sijunjung. Menurut saksi peristiwa yang berhasil diwawancarai, Samsul Anwar, banyak tempat yang telah dilalui oleh rombongan. Selain itu beliau juga menjelaskan tentang kondisi rombongan. Lebih lanjut pak Anwar menjelaskan sebagai berikut.[2]
Perjalannya panjang untuk sampai kesini dari Halaban, bapak Sjafroeddin bersama teman-teman melanjutkan perjalanan ke Pekanbaru, karena Kota Bukittinggi sudah dikuasai oleh Belanda. Dari Halaban terus ke Bengkinang. Tiba di Bengkinang rombongan mendapat berita bahwa Pekanbaru sudah dikuasai oleh Belanda. Maka rombongan PDRI membelokkan ke arah Teluk Kuantan. Banyak daerah yang dilewati seperti Taratak Buluah, Sungai Pagar, Lipek Kain, Muara Lembung, baru sampai ke Teluk Kuantan.  Di Teluk Kuantan, Belanda sudah mengetahui juga rombongannya telah berada disitu dan menembaki mobi-mobil yang ada di pinggir jalan. Untung mobil rombongan PDRI sudah di masukkan kedalam semak-semak sehingga banyak yang selamat. Setelah dari teluk Kuantan menuju ke Hiliran Jao. Daerah yang dilewati yaitu Batang Kariang, taruih ka Hiliran Jao, taruih ka Pulau Punjuang, lalu mengarah ke Bidar Alam. Dari pulau punjuang taruih ka Sungai Dareh menuju Bidar Alam. Jadi daerah-daerah yang dilalui dusun Pulau Gadang, Pulau Panjang, Batu Gajah, Ombak Tebung, Pulau Seram, Abai Sangir, baru sampai ke Bidar Alam. Ke Bidar Alam itu beliau lebih kurang dua bulan. Disitulah ada kegiatannya bersama masyarakat seperti main bola, main volly, mengadakan kegiatan kesehatan, mengirimkan berita politik dari Bidar Alam ke Jendral Sudirman, Maramis. Di Bidar Alam selama dua bulan. Belanda sudah masuk ke Muara Labuh, jadi dari Muara Labuh ke Bidar Alam itu tidaklah jauh, makanya merasa kurang aman mereka merencanakan ke daerah Sumpur Kudus. Tujuannya hanya umtuk mengadakan musyawarah besar untuk PDRI. Maka di putuskanlah untuk berangkat ke Sumpur Kudus. Jadi kembali melalui sungai dan jalan setapak yang bisa ditempuh (berjalan kaki). Dari sungai menggunakan perahu, siapa yang tidak bisa kena sungai arus deras maka melewati jalan darat. Sampai lagi ke sungai Dareh, Hiliran Jao, Kamang, Maloroh, Sungai Batang, Sungai Batuang,  Pintu Batu, Padang Tarok, Tapuih, Durian Gadang, Manganti, Calau, Sumpur Kudus, dan Silantai ditempuh dengan perahu, jadi siapa yang tidak sanggup lewat jalur sungai, ditempuh dengan jalur darek jalan setapak didalam hutan. Rombongan bertemu disungai dareh lalu melanjutkan perjalanan rombongan hingga ke silantai. Setibanya di Silantai Syafrudi Prawiranegara disambut dengan baik oleh masyarakat setempat, selama di Silantai Syafruddin tinggal di sebuah surau (mushalla) milik warga yang bernama surau Tabing[3]. Setelah beberapa hari di  Silantai dan dirasa cukup aman, maka padang Tanggal 14-17 Mei itu dilaksanakan sidang disini. Dirumah wali Nagari Silantai yaitu bapak Hasan Basri.
Berdasarkan pemaparan saksi sejarah diatas yang merupakan anak dari salah satu tokoh PDRI dapat kita memahami, bahwa jejak-jejak sejarah PDRI di Nagari Silanati Kecamatan Sumur Kudus mempunyai peranan yang sangat fundamental dalam keberlansungan NKRI dan keselamatan PDRI, Syafrudin Prawiranegara beserta rombongan kala itu.
Kenagarian Silantai menjadi sangat penting dalam sejarah perjalanan PDRI karena dari banyak tempat yang dikunjungi oleh Syafrudin Prawiranegara untuk melaksnakan sidang PDRI, nagari Silantai lah yang paling aman, hingga terlaksana sidang itu di nagari Silantai.
Dari hasil perjalana Syafrudin Prawiranegara ke nagari Silantai, hari ini dapat kita jumpai bentuk-bentuk fisik yang masih terawatt dengan baik. Seperti: rumah sidang PDRI, Surau Tabing, tugu PDRI dan foto-foto perjalanan sejarah yang singakt namun penuh makna itu.
Peristiwan penting lainnya yang terjadi di sekitar nagari Silantai adalah ketika Belanda melakukan operasi pencarian Syafrudin Prawiranegara. Belanda mendapatkan kabar bahwa Syafrudin beserta rombongan berada di nagari Silantai, maka Belanda dengan cepat memasuki nagari Silantai untuk mencari Syafrudin Prawiranegara, namun Syafrudin Prawiranegara telah mengunsi ke nagari sebelah yaitu Nagari Tanjung Bonai Aur Selatan dan dia diselamatkan oleh seorang tokoh Masyarakat yaitu Guru Syukur. [4]




2.      Data Informan
a.       Nama   : Samsul Anwar
Umur   : 82 Tahun
Status  :
Saksi sejarah sekaligus juru perang dan merupakan ahli waris dari wali perang Silantai.
Alamat            : Silantai, Sumpur Kudus
b.      Nama   : Martini
Umur   : 77 tahun (Kelas 3 SD ketika peristiwa PDRI)
Status  : Saksi Sejarah
Alamat            : Silantai, Sumpur Kudus
c.       Nama   : Rafles Rasyid
Umur   : 46 Tahun
Status  : Narasumber (Cucu Kandung Guru Syukur)
Alamat            : Nagari Tanjung Bonai Aur Selatan
d.      Nama   : Musa
Umur   : 26 Tahun
Status  : Narasumber (Aktivis dan Pendiri Rumah Nusantara)[5]
Alamat            : Nagari Tanjung Bonai Aur Selatan

3.      Bukti Fisik
a.       Rumah Sidang PDRI Kabinet Syafrudi Prawiranegara
Rumah sidang PDRI kabinet Syafrudin Prawiranegara terletak di nagari Silantai Kecamatan Sumpur Kudus, Rumah ini merupakn rumah wali nagari Sumpur Kudus yaitu Bapak Hasan Basri. Rumah ini tepat berada di pertigaan jaalan setelah kita melewati jembatan kecil dan pesawahan. Bahan utama pembangunan rumah ini adalah kayu, atapnya adalah seng dengan Bandar Sembilan.
Rumah sidang PDRI ini menggambarkan rumah masyarakat minang pada umumnya, rumah ini memiliki kandang (Tingkat dari bawah/panggung) yang merupakan ciri khas rumah gadang di Minangkabau. 




b.      Tugu PDRI
Tugu PDRI di Sumpur Kudus terletak di kenagarian Silantai Kecamatan Sumpur Kudus, tugu ini berbentuk persegi enam dengan panjang lebih kurang 1,5 – 2 m.  Bagian kiri dan kanan tugu berukiran gambar senjata tentara dan rakyat Indonesia, sedangkan bagian atas berkibar bendera Merah Putih sebagai bentuk perlawanan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Pada bagian depan, terdapat dua senjata tentara PDRI, yaitu senapan dan bambu runcing.

Tugu ini berjumah dua buah di nagari Silantai, yang pertama; berada di pinggir jalan menuju nagari Silantai lebih kurang 2 km lagi menuju rumah sidang. Kedua berada di depan rumah sidang PDRI di nagari Silantai. Bentuk kedua tugu ini persis sama.







c.       Surau Tabing
Satu lagi bukti fisik yang tidak kalah pentingnya dari perjalanan PDRI di nagari Silantai adalah surau yang menjadi tempat tinggal Syafrudin Prawiranegara selama disini.
 
Surau Tabing berada tidak jauh dari lokasi rumah sidang PDRI, berjalan kaki ke arah belakang dari rumah sidang PDRI maka dengan waktu sekitar 10 menit kita akan sampai di lokasi surau ini. surau ini dibangun dengan bahan dasar papan dan semen, beratapkan seng.
Dengan fungsi yang begitu besar ketika PDRI yaitu sebagai tempat beristirahatnya Syafrudin Prawiranegara, maka masyarakat setempat hari ini memberi julukan kepada suaru ini yaitu Istana Ketua PDRI.
D.    Penutup
Pemerintahan darurat republik Indonesia atau PDRI mengalami sejarah panjang dalam pergerakan waktu bangsa Indonesia. Bermula dari tertangkap presiden Indonesia kala itu Ir. Soekarno dan M. Hatta di Yogyakarta, kemudian Ir. Soekarno memberikan mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk mengambil alih sementara tampuk kepemimpinan Indonesia.
Setelah Syafrudin Prawiranegara memegang kekuasaan atas nama PDRI, Belanda kembali mengincar presiden PDRI itu agar menyerahkan kekuasaan kepada Belanda. Maka perjuangan Syafrudin bersama rombongan mulai dari Bukittinggi berjalan kaki menelusuri jalan setapak mencari tempat yang dirasa paling aman untuk melaksanakan sidang PDRI.
Perjalanan panjang dan penuh resiko akhirnya mengantarkan Syafrudin ke nagari Silantai kecamatan Sumpur Kudus Kabupaten Sijunjung. Maka pada tanggal 14-17 Mei dilaksanakanlah sidang PDRI di rumah wali nagari Silantai bapak Hasan Basri.


[1] Mestika Zed. Pemerintahan Darurat Indonesia. 2008.  Makalah. 

[2] Wawancara dengan Samsul Anwar, saksi peristiwa PDRI yang saat itu masih berusia 13 Tahun. Pak Anwar merupakan anak dari sekretaris wali perang nagari Silantai. Silantai merupakan tempat dilaksanakannya sidang kabinet PDRI 14-17 Mei 1949. Wawancara dilaksanakan sabtu, 13 Mei 2018.
[3] Merupakan sebuah surau Tua yang dibangun susunan bilah bambu dilapisi oleh semen tipis, terletak tidak jauh dari Rumah Sidang PDRI di suaru inilah Syafrudin Prawiranegara tinggal dan beristirahat. Sekarang surau ini diberi nama oleh masyarakat setempat sebagai surau Istana Ketua PDRI.
[4] Hasil wawancara dengan bapak  Rafles Rasyid. Merupakan cucu kandung Guru Syukur. Guru Syukur sendiri adalah seorang tokoh masyrakat yang cukup disegani oleh Belanda. Ketika Syafrudin Prawiranegara di cari oleh Belanda di nagari Silanati, maka syafrudin mengunsi dirumah Guru Syukur (lokasi rumah itu tepat disamping posko penginapan peserta KKL yang laki-laki) yaitu di nagari Tanjuang Bone Aur Selatan. Mendengar kabar ini Belanda marah dan membumi hanguskan nagari Tanjung Bone Aur Selatan, semua rumah warga di bakar kecuali emapt buah rumah yang tidak terbakar. Satu diantara yang empat itu adlah rumah Guru Syukur dan tiga lainnya tidak hangus dibakar karena kekuata ghaib.
[5] Rumah Nusantara adalah sebuah komunitas yang didirkan oleh Musa beberapa tahun yang bersama dengan beberapa orang temannya. Musa merupakan pemuda asli nagari Tanjung Bonai Aur Selatan yang pernah menempuh pendidikan di salah satu universitas di Sumatera Barat namun tidak tamat. Melalui rumah nusantaranya Musa berkarya memajukan pendidikan generasi penerus dengan tiga komponen enting. Pertama Bahasa Ingris, kedua; Sejarah dan Kearsipan dan ketiga Pengabdian social terhadap masyarakat setempat.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kau Usir Aku Dengan Cara Mu

Kami Tidak Sama, Namun Kami Satu