Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu
KERAJAAN
ALAM SURAMBI SUNGAI PAGU
Oleh:
Randa dan Muhammad Rafi
Abstrak
Artikel
ini merupakan rangkuman pembahasan antara studi literatur dengan observasi
langsung ke lapangan yang berkaitan dengan kehidupan sosial masayarakat di
kawasan Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu (Muara Labuh, Solok Selatan). Fokus
utama dalam artikel ini adalah melihat tentang struktur kehidupan masyarakat
Surambi Sungai Pagu, Minangkabau. Meskipun demikian, tulisan ini juga mengkaji
tentang Kerajaan Sungai Pagu (Alam Surambi Sungai Pagu)—tidak terlalu
terperinci. Kemudian pada tahap akhir barulah dikaji tentang pengaruh Kerajaan
Sungai Pagu terhadap kehidupan sosial masyarakat di daerah sekitar kerajaan.
Sebenarnya jika dikaji secara ideal Kerajaan Sungai Pagu tentu akan sangat berpengaruh
bagi kehidupan masyarakat. Namun, melihat pemerintahan di daerah Minangkabau
telah berubah pasca kemerdekaan, maka timbul keingintahuan terhadap
perubahan-perubahan yang ada di kawasan Kerajaan Sungai Pagu, terutama aspek
sosialnya. Hasil yang diperoleh dalam kajian ini adalah terdapat perbedaan yang
cukup signifikan dalm sistem sosial masyarakat di kawasan Sungai Pagu, terutama
pada masa pasca Orde Baru-ketika dilakukan perubahan sistem birokrasi asli
Minangkabau ke sistem birokrasi modern.
Kata Kunci: kehidupan
sosial, perubahan sosial, kerajaan alam surambi sungai pagu
Kerajaan
Alam Surambi Sungai Pagu merupakan salah satu kerajaan yang berada dibawah
jalur kerajaan Pagaruyung. Kerajaan ini terbentuk ketika raja terakhir kerajaan
Pagaruyung mengutus beberapa orang awak istana kerajaan Pagaruyung untuk menaruko (membuka lahan) di kawasan
Pasir Talang (Solok Selatan) saat ini. Dari perjalanan tersebut akhirnya
terbentuklah kerajaan yang berada dibawah kerajaan Pagaruyung, yaitu Kerajaan
Sungai Pagu.
Satu
hal yang rasanya perlu diketahui dari kerajaan ini adalah pembagian raja
menjadi empat. Pembagian ini didasarkan kepada pembagian kerja karena
masing-masing raja memiliki tugas dan peranan masing-masing. Pertama, Daulat yang Dipertuan Sultan
Besar Rajo Disambah, disebut juga sebagai Rajo Alam yang memiliki kedudukan
paling tinggi kedudukannya dibandingkan ketiga raja lainnya. Biasanya Raja ini
menjadi tempat untuk memutuskan hasil musyawarah. Rajo Alam sendiri berasal
dari suku melayu. Kedua, Tuanku Rajo
Bagindo, merupakan rajo yang berasal dari suku Kampai dan disebut juga sebagai
Rajo Adat.
Sesuai
dengan namanya, Raja ini bertanggung jawab untuk urusan adat di wilayah
Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu. Ketiga,
Tuanku Rajo Malenggang, yaitu raja yang bertugas sebagai panglima
(keamanan) di Kawasan Kerajaan Sungai Pagu. Raja ini sendiri berasal dari
keturunan yang bersuku Sikumbang. Terakhir Rajo Batuah, raja yang berasal dari
suku Sikumbang ini memiliki tanggung jawab atas permasalahan Ibadat. Keempat
raja tersebut memang dianggap sebagai raja yang ada di wilayah Kerajaan Alam
Surambi Sungai Pagu. Meskipun demikian, di antara keempat raja tersebut ada
satu dengan kedudukan tertinggi, yaitu Daulat yang Dipertuan (Rajo Alam) dan
ketiga raja lainnya-Rajo melenggang, Rajo Adat dan Rajo Ibadat-memiliki
kedudukan yang setara.[1]
Jika
dilihat dari keadaan idealnya, jelas keempat raja di atas tentu memiliki
peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat setempat. Namun sebagai
hipotesis pertama timbul pemikiran bahwa pada masa sekarang ini tentu muncul
perubahan dalam kedudukan Kerajaan Sungai Pagu terhadap kehidupan masyarakat
sekitar. Pada pembahasan kali ini kami terfokus melihat aspek-aspek sosial
masyarakat yang hidup di sekitar Kerajaan Sungai Pagu, terutama ketika sistem
birokrasi di Minangkabau pada masa sesudah Orde baru yang mengubah sistem
pemerintahan di minangkabau menjadi birokrasi modern.[2]
SISTEM
PEMERINTAHAN KERAJAAN ALAM
SURAMBI SUNGAI PAGU
Meninjau
tentang sistem sosial Kerajaan Sungai Pagu bisa dilihat dari sistem
pemerintahan yang diterapkan Kerajaan Sungai Pagu dari masa ke masa. Pada
umumnya daerah di Minangkabau dibagi menjadi dua, yaitu daerah Luhak Nan Tigo dan Rantau.[3]
Untuk Luhak sendiri terdiri atas Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak 50
Koto. Sedangkan daerah rantau merupakan daerah-daerah yang berada di luar
daerah Luhak (Mengelilingi Luhak).[4]
Dari dua kategori tersebut, Sungai Pagu sendiri merupakan daerah Rantau. Kemudian pada perkembangan
selanjutnya daerah Sungai Pagu berdiri sebagai daerah inti dengan wilayah
Bandar Sepuluh sebagai daerah rantau. Sistem ini berlaku karena pada
pemerintahan tradisional Minangkabau daerah rantau akan berdiri sendiri dengan
sistem kultural tetap mengacu kepada daerah luhak
nan tigo (daerah inti).
Sistem
pemerintahan yang diterapkan di daerah rantau
adalah sistem kerajaan—untuk daerah sungai pagu diberi nama Kerajaan Alam
Surambi Sungai Pagu. Ciri utama dari sistem kerajaan adalah adanya raja—sesuai
dengan pepata Luhak Bapangulu, Rantau
Barajo. Namun, untuk kepemimpinannya sendiri raja di daerah Sungai Pagu
dibagi menjadi empat, yaitu Daulat yang Dipertuan atau Rajo Alam, Tuanku Rajo
Bagindo, Tuanku Rajo Malenggang, dan Tuanku Rajo Batuah. Perihal ini didasarkan
kepada sistem kepemimpinan di daerah luhak
yang mengenal istilah ”tigo
tungku sajarangan” (terdapat tiga
kepemimpinan, yaitu kepemimpinan ninik
mamak, alim ulama dan cerdik pandai). Lebih berat penekanan
kepada pembagian bidang kepemimpinan. Dengan sistem ini masyarakat di kawasan Kerajaan
Sungai Pagu tetap menerapkan sistem kerajaan dengan kepatuhan kepada raja,
tetapi tetap dengan asas egaliter. Untuk memantapkan pemikiran tentang sistem
perintahan ini, mendudukan pemahaman tentang pemerintahan nagari juga termasuk
aspek yang sangat penting.
Pemerintahan Nagari[5]
Kata nagari berasal dari bahasa Sanskerta yaitu “Nagari”, yang
dibawa oleh bangsa yang menganut agama Hindu. Bangsa itu pulalah yang
menciptakan pembagian nagari serta menentukan pembagian suku-suku
diantara mereka. Nagari-nagari kecil itu merupakan suatu bentuk negara yang
berpemerintahan sendiri. Menurut A.A Navis menyatakan pengertian nagari sebagai
suatu pemukiman yang telah mempunyai
alat kelengkapan pemerintahan yang sempurna, didiami sekurang-kurangnya empat
suku penduduk dengan Penghulu Pucuk (Penghulu Tua) selaku pimpinan pemerintahan
tertinggi.
M. Amir Sutan menyebutkan bahwa keterangan terbaik mengenai asal
usul nagari diberikan oleh ahli adat De Rooy. Dia menulis bahwa nagari yang
tertua adalah nagari Pariangan Padang Panjang. Dari Pariangan rakyat mengembara
kemana-mana dan mendirikan tempat tinggal baru yang akhirnya membentuk sebuah
kampung. Perkampungan ini disebut dengan Taratak, kemudian Taratak berkembang menjadi Dusun, Dusun berkembang menjadi Koto dan Koto berkembang menjadi Nagari.
A.A Navis telah menguraikan nagari yang empat tersebut sebagai
berikut:
a.
Taratak
Yaitu pemukiman paling
luar dari kesatuan nagari yang juga merupakan
perladangan dengan berbagai hunian di dalamnya. Pimpinannya disebut Tuo (Tua/Ketua), belum
punya penghulu oleh sebab itu rumah- rumahnya belum boleh bergonjong.
b.
Dusun
Merupakan pemukiman
yang telah banyak jumlah penduduknya, telah mempunyai tempat beribadah, rumah
gadang dua gonjong tetapi belum mempunyai penghulu dan pimpinan pemerintahannya
disebut Tuo Dusun.
c.
Koto
Koto merupakan
pemukiman yang telah mempunyai hak-hak dan kewajiban seperti nagari dan
pimpinan terletak di tangan Penghulu,
tetapi balairungnya tidak mempunyai dinding.
d.
Nagari
Yaitu pemukiman yang memiliki
alat kelengkapan pemerintahan yang
sempurna, didiami sekurang-kurangnya empat suku penduduk dengan Penghulu Pucuk sebagai
pimpinan pemerintahan yang tertinggi.
Dari
hierarki pembentukan nagari barulah dibentuk kesatuan baru yang yang berada di
bawah Nagari yang disebut Jorong. Jorong merupakan unit-unit lingkungan kerja pelaksanaan
pemerintahan nagari. Jorong umumnya merupakan bekas desa yang ada dalam wilayah
suatu nagari, namun tidak menutup kemungkinan desa dipecah menjadi beberapa
Jorong jika bekas desa tersebut memiliki wilayah yang luas atau atas dasar
pertimbangan jumlah penduduk.
Berdasarkan
pemaparan sistem pemerintahan di atas diperoleh pemahaman tentang sistem
pemerintahan di kawasan Kerajaan Sungai Pagu. Pada masa awal memang Kerajaan Sungai
Pagu merupakan bagian dari kerajaan pagaruyung (wilayah Luhak). Ketika daerah
ini telah memiliki empat suku (Melayu, Panai, Kampai dan Sikumbang) barulah
daerah ini menjadi kawasan dengan sistem pemerintahan sendiri yang tetap
mengkuti adat-adat wilayah luhak.
Jika
kita analisis dengan syarat nagari A. A. Navis, Kerajaan Sungai Pagu ini bisa
di artikan sebagai satu nagari di wilayah minangkabau. Telah terdapat
pemerintahan yang sempurna dengan keberadaan empat suku tersebut. untuk
memudahkan dalam unit-unit kerjanya wilayah Kerajaan Sungai Pagu ini dibagi
pula menjadi empat wilayah dibawah kepemimpinan kepala suku (dalam Kerajaan
Sungai Pagu dipimpin oleh raja-raja berdasarkan sukunya). Raja yang dimaksud
adalah daulat dipertuan (rajo alam) sebagai pimpinan suku Melayu, Tuanku
Malenggang (rajo malenggang) sebagai pimpinan suku sikumbang, Tuanku bagindo
(rajo adat) sebagai pimpinan suku Kampai dan tuanku batuah (rajo ibadat)
sebagai pimpinan suku panai.
KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT
KERAJAAN ALAM
SURAMBI
SUNGAI PAGU
Sistem birokrasi moderen mulai
diberlakukan di daerah Minangkabau sejak tahun 1980.[6]
Sejak saat itu seluruh pembagian nagari atau jorong dibentuk menjadi desa-desa.
Tercatat pada masa ini ada sekitar 543 Nagari di Sumatera Barat dirubah menjadi
3.138 desa.[7]
Setelah undang-undang ini diberlakukan banyak terdapat perubahan dalam tatanan
sosial di kehidupan masyarakat Kerajaan Sungai Pagu.
Masyarakat di kawasan Kerajaan Sungai
Pagu sebelum 1980 tetap menerapkan sistem sosial yang sesuai dengan pemerintahan
asli Minangkabau. Kedudukan rajo nan
ampek betul-betul memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Pada
masa ini diterapkan sistem ganda bagi tugas dan tanggung jawab raja. Pertama, raja-raja menjalankan tanggung
jawabnya sesuai tugasnya masing-masing untuk taraf Kerajaan. Rajo Alam sebagai
kekuasaan tertinggi bertindak sebagai pimpinan dalam menetapkan keputusan bagi
daerah kekasaan Kerajaan Sungai Pagu, Tuanku Batuah untuk urusan agama Tuanku
Bagindo untuk urusan adat dan Tuanku Malenggang untuk bagian kemiliteran.[8]
Seluruh tugas dan tanggung jawab tersebut di jalankan oleh raja dan di
musyawarahkan ketika hendak mengambil suatu keputusan.
Untuk bagian kedua, setiap raja yang ditetapkan berdasarkan suku juga memiliki
fungsi dan tanggung jawab tersendiri dalam kehidupan sosial. sebagai gambaran,
tuanku batuah merupakan pemimpin dari suku kampai bertanggung jawab atas suku
kampai yang ada di daerah Kerajaan Sungai Pagu. Tanggung jawab ini bisa
dikatakan mirip dengan kepala suku atau Niniak Mamak/Penghulu. Begitu
juga seterusnya dengan raja-raja yang lain, mereka bertanggung jawab juga
sebagai kepala suku—rajo alam suku melayu, rajo ibadat suku panai dan rajo
malenggang suku sikumbang. Tugas dan tanggung jawab raja-raja ini terhadap
sukunya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab Niniak Mamak. Diantara tugas
tersebut dalah memimpin suku dan menyelesaikan permasalahan yang ada di suku
tersebut sebelum di proses di tingkat yang lebih tinggi, biasanya permasalahan
suku yang tidak dapat di selesaikan oleh pemimpin suku/Niniak Mamak akan
diselesaikan di Kantor Kerapatan Adat Nagari atau KAN.
Selain
sistem sosial di atas, masyarakat di daerah Kerajaan Sungai Pagu pada umumnya
merupakan kesatuan yang berasal dari berbagai daerah. Berdasarkan pemaparan
Puti Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, Kerajaan Sungai Pagu memiliki wilayah
kekuasaan yang cukup luas. Kerajaan juga mengusai tanah-tanah yang berada
disekitar kerajaan dan masyarakat yang berada di sekitar Kerajaan Sungai Pagu
adalah pendatang, kebanyakan mereka berasal dari pulau Jawa. Sebagai pendatang
yang tidak memiliki apa-apa, kerajaan Alam Sungai Pagu memberikan lahan kepada
mereka untuk didirikan rumah diatasnya, tanah yang diberikan kerajaan kepada
masyarakat pendatang hanyalah sebatas hak pakai. Sistem sosial masyarakat
kerajaan Alam Surambi sungai pagu sebelum orde baru terbilang masih menganut
sistem sosial kerajaan. Masyarakat hidup terbagi kedalam beberapa nagari yang
dipimpin oleh tetua adat dan bertangung jawab lansung kepada keluarga kerajaan.
Hidup masyarakat saling berdampingan dan saling bergotong royong.
Situasi
kehidupan sosial di atas merupakan keadaan yang terjadi sebelum sistem
birokrasi di Minangkabau (Sumatera Barat) diubah menjadi sistem birokrasi
modern. Pasca berlakunya undang-undang no 5 tahun 1979 dan undang-undang no. 22
tahun 1999, banyak terlihat perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat
Kerajaan Surambi Sungai Pagu. Perubahan social masyarakat sekitar tersebut
terletak pada interaksi sosial dan kepekaan sosial masyarakat sekitar. Saat ini
masyarakat sekitar tidak terlalu memperhitungkan keberajaan Kerajaan disana.
Jika dahulu posisi kerajaan dan raja sangat memberi andil dalam menetapkan
keputusan yang akan di ambil oleh masyarakatnya, saat ini justru penekanan
tersebut berada di bawah sistem pemerintahan nagari. Misalnya jika hendak
menikah, biasanya masyarakat yang memiliki suku kampai akan memberitahukan
kepada tuanku rajo daulat (karena memimpin suku kampai).[9]
Tetapi saat ini hal tersebut tidak terlalu dijalankan karena syarat-syarat
administratif untuk menikah berada di pemerintahan daerah. Begitu juga jika
hendak melakukan acara-acara yang lain.
Perihal
lain yang tampak mencolok adalah masalah partisipasi sosial masuarakat.
Sebelumnya masyarakat sekitar Kerajaan Surambi Sungai Pagu hidup berdampingan
dan menjadikan kegiatan gotong royong sebagai kegiatan rutin sehari hari dalam
menyelesaikan pembangunan di sekitar kerajaan. Namun, saat ini semangat gotong
royong mulai memudar dan seakan-akan kehidupan masyarakat sekitar sudah menjadi
individualis. Dari hasil-hasil observasi dan wawancara yang kami lakukan,
terlihat bahwa perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Kerajaan Surambi
Sungai pagu cukup signifikan sampai saat ini.
KESIMPULAN
Seiring
dengan perkembangan zaman, terlihat bahwa banyak perubahan yang terjadi di
Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu. Perubahan yang paling mencolok terlihat
ketika diberlakukannya undang-undang no 5 tahun 1979 dan undang-undang no 22
tahun 1999. Sejak diberlakukannya undang-undang tersebut sistem pemerintahan di
Minangkabau yang notabene juga termasuk kawasan Kerajaan Alam Surambi Sungai
Pagu berubah dari tradisional ke pemerintahan desa dan pemerintahan nagari
dengan birokrasi seperti saat ini. Perubahan ini membawa dampak yang nyata bagi
perubahan kehidupan sosial masyarakat di
Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu. Perubahan yang mencolok terlihat dari
kedudukan raja yang mulai memudar peranannya dalam permasalahan sosial,
berkurangnya interaksi sosial sesama penduduk—akibat perkembangan zaman—dan
cara pandang masyarakat terhadap kerajaan dan raja. Dari semua itu jelas
terlihat bahwa keadaan sosial di lokalitas Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu
telah Berubah cukup signifikan.
REFERENSI
A.A Navis. (1984). Alam
Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti
Pers.
LKAAM. (2002). Adat
Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Padang: Surya Citra Offset.
Siti
Fatimah. (2011). Kepemimpinan Tradisional Masyarkat Minangkabau pada Masa
Pendudukan Jepang. Jurnal. Tingkap, Volume VII no. 1 tahun 2011.
Skripsi.
Sistem Pemerintahan Nagari
di Minangkabau dengan Studi Kasus di Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima
Puluh Kota Sumatera Bara. Universitas Sumatera Utara. online di http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/30658/Chapter%20I.pdf?sequence=4. Di akses 23 Desember 2017. Hal.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 yang menyeragamkan sistem pemerintahan terbawah dari suatu
daerah adalah desa.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang sistem pemerintahan Nagari.
Wawancara
dengan Mega, warga di Jorong Balun yang tinggal di sekitar kerajaan Balun/Rajo
Ibadat.
Wawancara
dengan Puti Suci di Istano Daulat yang Dipertuan Sultan Besar Rajo Di Sambah,
Rajo Alam.
[1] Wawancara dengan Puti
Suci di Istano Daulat yang Dipertuan Sultan Besar Rajo Di Sambah, Rajo Alam.
[2] Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang sistem pemerintahan Nagari.
[3] Siti Fatimah.
“Kepemimpinan Tradisional Masyarkat Minangkabau pada Masa Pendudukan Jepang”.
Tingkap, Volume VII no. 1 tahun 2011. Hal. 77-79.
[4] Skripsi. Sistem Pemerintahan Nagari di
Minangkabau dengan Studi Kasus di Nagari Guguak VIII Koto Kabupaten Lima Puluh
Kota Sumatera Bara. Universitas Sumatera Utara. online di http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/30658/Chapter%20I.pdf?sequence=4. Di akses 23 Desember 2017. Hal. 1
[5] A.A Navis. Alam
Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. (Jakarta: Grafiti
Pers. 1984). Hal. 94
[6] Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 yang menyeragamkan sistem pemerintahan
terbawah dari suatu daerah adalah desa.
[7] LKAAM.
Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Padang : Surya Citra
Offset. 2002. hal.29
[8] Wawancara dengan Puti
Suci di Istano Daulat yang Dipertuan Sultan Besar Rajo Di Sambah, Rajo Alam
[9] Wawancara dengan Mega,
warga di Jorong Balun yang tinggal di sekitar kerajaan Balun/Rajo Ibadat.
Komentar
Posting Komentar