Gerakan Sosial Kalisalak K.H Ahmad Rifa'i



BAB I
PENDAHULUAN
  1.1  Latar Belakang Masalah
Jatuhnya ibu kota Romawi Timur Konstatinopel ke tangan bangsa Turki Otomon pada tahun 1453 membawa perubahan- perubahan besar di Eropa dalam bidang sosial, ekonomi dan plitik. Dunia pedagangan Eropa- Asia yang semula berpusat di Laut Tengah dengan Genoa, Vanesia dan konstatinopel sebagai bandarnya tergoncang. Pedagangan di tempat itu lumpuh karena hubungan dagang Eropa- Asia terputus[1].
Persoalan dagang dan agama yang bersangkut- paut menjadi alasan dan dorongan bangsa Barat untuk lansung mencari jalan perdaganagan ke Asia. Karena itu ekspansi bangsa Barat ke Asia bertujuan untuk menguasai perdagangan Asia- Eropa yang sebelumnya dikuasai oleh saudagar- saudagar muslim. Salah satu wilayah yang menjadi target bangsa Barat adalah Indonesia[2].
Indonesia adalah bangsa yang kaya akan sumber daya alamnya, baik kekayaan hutan, laut bahkan bahan tambang. Kekayaan sumber daya alam Indonesia ini lah yang membuat bangsa Barat berlomba- lomba datang ke Indonesia dan berusaha menanamkan kekuasaanya di Indonesia. Berbagai macam bangsa Barat yang datang ke Indonesia, tujuan utatamanya adalah mencari rempah- rempah yang merupakan asset kekayaan Indonesia.
Kedatangan bangsa Barat ke Indonesia, rupanya membawa penderitaan pula bagi bangsa Indonesia, kedatangan bangsa Barat ternyata tidak hanya ingin mencari rempah- rempah Indonesia, melainkan juga ingin menanamkan kekuasaanya serta ingin menjajah bangsa Indonesia. Bangsa Barat yang datang ke Indonesia diantaranya Belanda, Spanyol, Portugis, Inggris dll.
Bangsa Barat yang datang ke Indonesia menguasai perdagangan rempah- rempah Indonesia dan menanamkan kekusaannya di Indonesia, penanaman kekuasaan bangsa Barat di Indonesia adalah sebuah bentuk penjajahan terhadap bangsa Indonesia. Karena selama kekuasaan bangsa Barat di Indonesia tidak terhitung banyaknya rakyat Indonesia yang mati kelaparan.
Akibat dari kekuasaan dan penjajahan bangsa Kolonial itulah muncul berbagai macam reaksi tidak suka rakyat Indonesia, mulai dari hanya sekedar membenci bangsa Kolonial, melarikan diri hingga adanya perlawanan dalam bentuk gerakan sosial atau gerakan masyarakat yang sudah terorganisir[3]. Salah satu gerakan social yang muncul adalah Gerakan Protes Sosial yang di Prakasai oleh K.H Ahmad Rifa’I  dari Kalisalak Pekalongan.
Gerakan Protes Sosial yang di prakasai oleh K.H Ahmad Rifa’I adalah sebuah bentuk perlawanan masyarakat yang tidak suka dengan perlakuan bangsa Kolonial terhadap pribumi setempat. Gerakan protes sosial ini juga diajaukan kepada orang- orang asli Jawa yang menjadi kaki tangan Belanda.
K.H Ahmad Rifa’I dalam mengkoordinir gerakan protes sosial ini memberikan doktrin kepada masyarakat bahwa penjajahan bangsa Kolonial beserta kaki tangannya orang pribumi adalah kafir, mereka adalah musuh Allah dan musuh Umat Islam. Dalam menjalankan skenario gerakan protes ini, K.H Ahmad Rifa’I menjadikan dakwah dan sya’ir sebagai media untuk mengumpulkan masa dan kekuatan[4].
   1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diambil rumusan masalahnya sebagai berikut:
A.    Apa yang melatar belakangi terjadi gerakan protes sosial di Kalisalak Pekalongan?
B.     Bagaimana Biografi K.H Ahmad Rifa’i?
C.    Bagaimana ajaran serta gerakan protes sosial K.H Ahmad Rifa’i?   
   1.3  Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai bentuk- bentuk perlawanan dan gerakan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Kolonialisme serta mengambil pelajaran dari semua gerakan dan perlawanan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Latar Belakang Gerakan Protes Sosial di Kalisalak Pekalongan
Sartono Kartodirjo mengatakan sepanjang abad 19 dan awal abad 20, sejarah Indonesia ditandai dengan meledaknya gejolak atau protes sosial di kalangan pribumi secara silih berganti. Kesemuanya ini dapat dimaklumi sebagai akibat konflik yang terjadi antara rakyat dengan pemerintah kolonial[5].
 Kondisi ini lebih jelas keadaanya setelah Perang Diponegoro tahun 1930- an, M.C. Ricklef mengatakan kondisi ini sebagai babak baru penjajahan yang sebenarnya terhadap Indonesia khusunya tanah Jawa. Hal yang demikian terjadi karena sejak saat itu elit- elit kerajaan di tanah jawa mulai tergeser kedudukannya dari urusan- urusan politik. Sebagai gantinya residen- residen Belandalah yang mengendalikan kekuasaan. Pada saat yang bersamaan pemerintah kolonial Belanda memberlakukan sistem kultur- stelsel atau tanam paksa dan kerja paksa yang sangat membebani rakya dan memberikan penderitaan yang tiada hentinya kepada rakyat[6].
Tergesernya elit kerajaan dari urusan politik dengan sendirinya, secara tidak lansung menghilangkan patronase kerajaan terhadap rakyatnya. Elit- elit kerajaan sudah kehilangan otoritasnya dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan administrasi karena sudah digantikan oleh pemerintahan kolonial dan juga elite daerah yang menjadi kaki tangan kolonial. Adanya kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan rakyat, dengan sendirinya elite kerajaan tak bisa berbuat apapun. Oleh karena itu rakyat kemudian mencari perlindungan kepada tokoh- tokoh kharismatik di luar elite kerajaan, diantara mereka ini adalah para kyai dan ulama.
Munculnya kepemimpinan ulama memberikan harapan baru bagi rakyat, karena ulama sebagai elite keagamaan yang biasa bergaur dengan rakyat dan punya kharisma sebagai pemimpin umat, kepercayaan rakyat semakin bertambah karena pihak birokrat feodal atau tradisional sebagian besar berpihak kepada pemerintah kolonial. Karena itu dapat dipahami ketika pemerintah kolonial dibantu birokrasinya memberlakukan kebijakan yang merugikan rakyat, seperti sistem tanam paksa dan kerja paksa, maka kedudukan ulama di mata rakyat menjadi semakin kuat[7].
Ulama secara struktural memang terpisah dan tidak terorganisasi dalam masyarakat Jawa. Mereka menjauhkan diri dari masyarakat dan kadang- kadang sangat kritis terhadap pemerintah kolonial. Demikianlah dengan keberadaan K.H. Ahmad Rifai yang hidup antara tahun 1786- 1870, di daerah Kalisalak, Kedungwuni, Pekalongan, dia merupakan sosok yang menggambarkan perlawanan rakyat terhadap pemerintah kolonial. Perlawan yang beliau berikan tidak dalam bentuk fisik melainkan perlawanan dengan khutbah- khutbah serta sya’ir- sya’ir yang membuka hati rakyat, bahwa kita sedang dijajah.
Kesadaran- kesadaran yang di doktrinkan oleh K.H Ahmad Rifa’I ini lah yang membuat rakyat merasa ini harus dilawan dan di hentikan. Ketidak senangan rakyat terhadap pemerintahan kolonial beserta kaki tangannya juga memicu terjadinya sebuah gerakan protes. Namun, gerakan protes yang diprakasai oleh K.H Ahmad Rifa’I bukanlah gerakan yang bersifat benturan fisik, K.H Ahmad Rifa’I memberikan perlawanan dengan cara menjauhi kolonial serta orang- orang pribumi Jawa yang menjadi kaki tangan colonial, jalan yang ditempuh oleh K.H Ahmad Rifa’I untuk memberikan perlawanan ini melalui ajaran tarekat yang dia pelajari selama berada di Mekkah.

1.2  Biografi K.H Ahmad Rifa’i
K.H. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum dilahirkan pada tanggal 9 Muharam 1200H/1786M, di desa Tempuran, Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Ayahnya bernama Muhammad Marhum bin Sujak Wijaya dan Ibunya bernama Siti Rahmah. Muhammad Marhum adalah salah seorang pegawai keagamaan atau penghulu. Ayahnya meninggal ketika Ahmad Rifa’i berusia 7 tahun. Ahmad Rifa‟I kemudian diasuh oleh kakak iparnya, KH. Asy’ari, pengasuh pondok pesantren Kaliwungu.
K.H Ahmad Rifa’I adalah seorang ynag hidup di lingkungan keluarga yang kuat memegang ajaran agama islam, ayahnya seorang ulama sekaligus seorang penghulu, sedangkan kakak iparnya juga merupakan seorang ulama yang terkenal di wilayah Kaliwungu. Hidup di lingkungan yang kuat menjalankan ajaran agama, secara tidak lansung pemahaman agama juga mengalir didarah K.H Ahmad Rifa’i.
Hidup dalam lingkungan keluarga yanga agamis, membuat corak kehidupan K.H Ahmad Rifa’I dekat dengan para ulama serta paham al- qur’an serta ajaran agama islam. Pada masa remajanya k.H Ahmad Rifa’I telah katif berdakwah di daerah tempat tinggalnya. Pemahaman ilmu agama yang didapat dari kakak iparnya, secara tidak lansung menumbuhkan sikap patritisme dalam diri K.H Ahmad Rifa’i[8].
Ketika berusia 30 tahun, tepatnya pada tahun 1816, K.H  Ahmad Rifa’i pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Seperti yang terjadi pada saat itu, jama’ah haji yang telah selesai melaksanakan ibadah haji tidak lansung pulang, melainkan mereka menetap terlebih dahulu disana. Selama menetapka di Mekkah, K.H Ahmad Rifa’I menggunakan waktu itu untuk menuntut ilmu agama kebeberapa ulama disana. Ahmad Rifa’I menetap selama 20 tahun di Mekkah, selama menetapa di Mekkah ia belajar kepada Syaikh Usman dan Syaikh Faqih Muhammad ibn Abd al-Aziz.
Setelah sekian lama menetap di Mekkah K.H Ahmad Rifa’I melanjutkan perjalannya mencari ilmu ke Mesir. Setelah sampai di Mesir, ia mempelajarai kitab- kitab Fiqh mazhab Imam Syafi’i[9], di Messir ia menetap selama 12 tahun dan berguru kepada Syaikh al-Bajuri[10].
Setelah selesai menuntut ilmu di Mekkah dan Messir, ia kembali tanah kelahirannya dan mulai mengaplikasikan ilmunya dengan jalan berdakwah. Sesuai dengan keberadaan dirinya pada saat dalam situasi penjajahan kolonialisme Belanda, telah menuntut perhatian darinya. Selain mengajarkan ajaran- ajaran Islam yang telah didalaminya, ia pun mengobarkan semangat penentangan terhadap kolonilisme Belanda. Ia banyak melakukan protes terhadap Belanda dan masyarakat pribumi Jawa yang diangkat sebagai pejabat oleh kolonial Belanda. Aktifitas- aktifitas yang dialakukan oleh K.H Ahmad Rifa’I, dianggap sebagai sebuah ancaman oleh kolonial Belanda, kemudian ia diasingkan ke Ambon pada tahun 1859 dan meninggal di pengasingan itu pada tahun 1870  M. Berkat jiwa patriotisme dan kegigihannya menentang kolonialisme, K.H Ahmad Rifa’I dinobat sebagai pahlawan Nasional pada tahun 2004 oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.


1.3  Ajaran dan Gerakan protes sosial K.H Ahmad Rifa’i
Sebelum melakaukan gerakan protes social terhadap pemerintahan kolonial Belanda serta kaki tangannya, K.H Ahmad Rifa’I terlebih dahulu memberikan pengajaran kepada rakyat mengenai penjajahan yang dilakukan oleh bangsa colonial, sifat penagajarannya dengan mendoktrin rakyat bahwa penjajah colonial adalah kafir.
Ajaran- ajaran K.H. Ahmad Rifa’I yang bersifat doktrin protes terhadap pemerintah kolonial beserta aparat feodal dan tradisionalnya paling banyak dimuat dalam kitab- kitabnya yang berjudul Tarikh, Nadzam Wikayah, Syarihul Iman, Bayan, Tafrikah, Abyanul Hawaij, Tasyrihatul Muhtaj dan Riyatul Himmah. Selama memberikan pengajaran ilmu agama kepada rakyat sekeklilingnya, K.H Rifa’I melakukan dengan pendekan persuasife yang membuat rakyat tertarik, sehingga menjadi pengikutnya.
Dalam doktrin protesnya terhadap pemerintah kolonial, K.H. Ahmad Rifa’i mendasarkan ajarannya pada argumentasi bahwa pemerintah kolonial Belanda adalah kafir, di samping itu dianjurkan kepada segenap pengikut K.H. Ahmad Rifa‟i agar berjuang untuk menyelamatkan Jawa khususnya dan Indonesia umumnya. Perjuangan menentang orang- orang kafir dan melawan dengan perang sabil akan sangat besar pahalanya. Pernyataan ini dapat dilihat dalam kitab Nazam Wikayah[11]:

Slamete dunya akherat wajib kinira
Nglawan raja kafir sekuasane kafikira
Tur perang sabil lewih kadene ukara
Kacukupan tan kanti akeh bala kuncara

Keselamatan dunia-akherat wajib diperhitungkan
Melawan raja kafir sekemampuannya perlu dipikirkan
Demikian juga perang sabil lebih dari pada ucapan
Cukup tidak menggunakan pasukan yang besar
Syair ini diajarkan kepada para pengikut dan masyarakatnya, dengan memahami isi sya’ir ini, rakyat lama kelamaan tertanam rasa benci dan tidak senangnya terhadap pemerintahan colonial. Melihat keadaan yang terjadi, K.H Ahmad Rifa’I semakin bersemangat mengobarkan semangat anti kolonialnya terhadap rakyat, dengan demikian semangat ini tertular kepada rakyat, sehingga terciptalah rakyat anti pemerintahan colonial.
Selain doktrin anti kepada pemerintah kolonial Belanda, K.H. Ahmad Rifa’i juga mengajarkan doktrin protesnya kepada para birokrat feodal dan tradisional yang menjadi kaki tangan Belanda. Doktrin ini terlihat dalam kitab Tarqhib.
Tanbihun, tinemu negara Jawi rajane kufur
Iku amar naha ora gugur
Saben mukalaf ghalib ana kuasa milahur
Uga bisa ghalib derajate luwih luhur
Tinemu alim fasiq ngilmune ketanggungan
Ningali ing negara Jawi dhalim rajane kinaweruhan
Iku aweh pitutur tinemu linakonan
Wajib amar naha sabab akeh kamaksiatan
Ingatlah! Sekarang didapati penjajah sudah menguasai negara Jawa
Berjuang mencegah selalu diharapkan
Tiap-tiap rakyat dewasa kalau mampu melaksanakan
Kalau memang benar-benar mampu mencegahnya akan memperoleh kemulyaan Kamudian, kalau didapati ada alim penghianat yang ilmunya diragukan
Otomatis mereka melihat Jawa jelas dikuasi penjajah dan menindas rakyat
Sikapnya mestinya harus memberi penjelasan ke arah yang baik untuk dilaksanakan Sebab wajib bagi mereka mencegah kalau sudah terjadi wabah kemaksiatan.

Selain itu juga terdapat sya’ir yang berisi protes sebagai berikut:           

      Ghalib alim lan haji fasik pada tulung
Marang raja kafir asih pada njunjung
Ikulah wong alim munafik imane suwung
Dumeh diangkat drajat dadi Tumenggung
Lamun wong alim weruhe ing alane wong takabur
Mongko ora tinemu dadi qadli miluhur

Ghalib alim dan haji fasik menolong
Raja kafir dan senang mendukungnya
Itulah orang alim munafik kosong imannya
Karena merasa diangkat kedudukannya jadi tumenggung
Jika orang alim menunjukkkan jeleknya orang takabur
Nanti tidaklah mungkin dapat qadli terkenal

Memperhatikana isi sya’ir di atas, pada intinya adalah K.H. Ahmad Rifa’I mengecam para alim ulama dan para haji yang berbuat fasik[12]. Kefasikan ini disebabkan karena mereka telah menolong dan bahkan mau menjadi hamba dan pembantu penjajah colonial yang identik dengan kekafiran. Orang- orang ini dipandang olehnya K.H Ahmad Rifa’i telah munafik dan tidak mempunyai keimanan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Melalui sebuah sya’irnya, yang ditulis dalam sebuah kiatbnya, K.H Ahmad Rifa’I dengan tegas menyatakan sikap protesnya terhadap pembantu- pembantu kolonial yang mayoritas pribumi Jawa. Sikap para pribumi Jawa itu menurutnya merupakan sebuah penindasan terhadap saudara sendiri dan penghambaan diri terhadap penjajah kolonial yang nyata kekafirannya.
Sumerep badan hina seba nglangsur
Manfaate ilmu lan amal dimaha lebur
Tinemune priyayi laku gawe gede kadosan
Ratu, bupati, lurah, tumenggung, kebayan
Maring raja kafir pada asih anutan
Haji, abdi dadi tulung maksiat
Nuli dad qadli khatib ibadat
Maring alim adil leku bner syari‟at
Sebab kawatir yen ora nemu derajat
Ikulah laku wong munafik imane suwung Aut maksiat wong dadi tumenggung
Melihat tubuh hina menghadap dengan tubuh merayap
Manfaat ilmu dan amal hilang binasa
Pendapat dan priyayi membuat banyak dosa
Ratu, bupati, lurah, tumenggung, kebayan
Kepada raja kafir senang mengikut
Termasuk haji, abdi menolong kemaksiatan
Kemudian menjadi qadli khatib ibadah
Kepada alim adil bertindak membenarkan syari‟at
Sebab khawatir bila tidak mendapat kedudukan
Itulah amalan orang munafik yang kosong imannya
Mengikuti perbuatan maksiat orang yang jadi tumenggung

Para pemuka agama seperti penghulu, ulama dan para haji, dimata K.H. Ahmad Rifa’i dianggap sebagai pemuka agama yang menyesatkan. Mereka tidak menuruti perintah Allah, tidak mengadili dengan hukum Islam dan melanggar ketentuan agama. Mereka dikatakan hidup dalam gelimangnya dosa, yaitu dosa bid’ah[13], maksiat dan kafir, sebab ikut mendukung pemerintah kafir. Oleh karena itu siapa saja yang menikah melalui pejabat keagamaan yang diangkat oleh pemerintah kolonial, maka pernikahannya dipandang tidak sah oleh K.H Ahmad Rifa’i.
Selain mengajarkan sya’ir- sya’ir anti kolonialisme dan aparatnya kepada rakyta, K.H Ahmad Rifa’I juga mengobarkan semangat perang sabil kepada rakyat dan santrinya melalui sebuah sya’ir, yaitu:
Tanbihun wong perang sabil nglawan kufur
Iku ghalib ana patang perkara tinutur
Kang dihin cawis-cawis gegaman milahur
Pedang tumbak bedil tan kasingkur
Kapin telu iku dadi gegerakan ing negara
Kapingpat mati tuwin tatu lelara
Anak rabine pada melu susah ketara
Kapindo arep ana wong bala akeh kinira
Maka aja ana sira kabeh kataqsiran
Mengo lumayu mungkur kadhahiran
Ian sopo wonge mengo lumayu kadosan
Ing dinane tetemu ing wong kekufuran

Ingatlah bagi orang yang perang sabil melawab kafir
Itu biasanya ada empat hal
Pertama mencari persiapan persenjataan
Seperti pedang, tombak dam senapan
Kedua ada jumlah tentara yang banyak
Ketiga harus dikoordinir oleh negara
Keempat resiko mati dalam peperangan
Walaupun akan menyengsarakan keluarga
Maka jangan ada diantaranya
Melarikan diri dari kenyataan barangsiapa lari maka baginya
Berdosa sebab hari lainpun akan bertemu orang kafir

Gerkan Protes K.H Ahmad Rifa’i
Memperhatikan ajaran protes tersebut, K.H. Ahmad Rifa’i mempunyai sikap yang keras terhadap pemerintah kolonial beserta aparat- aparatnya. Namun demikian, tidak ada gerakan fisik yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Rifa’i dan pengikut- pengikutnya. Peristiwa yang ada hanyalah berupa gangguan- gangguan terhadap pelaksanaan shalat jum’at yang diselenggarakan oleh para penghulu dan ulama yang mengabdi pada pemerintahan kolonial. Lebih dari itu, gerakan K.H. Ahmad Rifa’i hanya sampai pada tingkat “hasutan” kepada para santri dan masyarakatnya agar tidak tunduk kepada pemerintah colonial, Ia juga mengecam pejabat feodal dan tradisional sejak dari kebayan sampai hupati, juga para pegawai keagamaan, yang dianggapnya telah menghamba diri kepada pemerintah kafir. Mereka itu semua kalau dihubungkan dengan kaidah agama disamakan dengan anjing dan babi oleh K.H Ahmad Rifa’i[14].
Namun demikian, pengaruh ajaran K.H. Ahmad Rifa’i secara keseluruhan, seperti masalah pernikahan, salat jum’at dan gerakan protesnya, tetap membuat gelisah aparat pemerintah colonial, dari masalah pernikahan misalnya. Adanya pendapat K.H. Ahmad Rifa’I tentang tidak sahnya pernikahan oleh penghulu yang mengabdi pada kolonial, hal itu mwndatangkan kegelisahan kepada mereka karena mempengaruhi kewibawaan mereka di mata rakyat. Begitu pula dengan tidak sahnya salat jum’at yang imam dan khatibnya adalah ulama yang mengabdi kepada kolonial. Maka, dengan pernyataan K.H Ahmad Rifa’I ini  banyak masjid yang kosong, karena masyarakat ragu dengan salat jum’at yang dipimpin oleh ulama- ulama kolonia. Pengaruh yang demikian ini diperkuat lagi dengan ajaran- ajaran yang bernada protes, yang mengajak rakyat untuk tidak tunduk dan bahkan menentang perintah-perintah para aparat kolonial. Walaupun bukan gerakan fisik, tapi gerakan ini telah membuat  para aparat kolonial kalang kabut.
Melihat perkembangan yang semakin pesat dan meluasnya pengaruh ajaran K.H. Ahmad Rifa’i, muncul kekhawatiran dari penguasa lokal. Para penguasa lokal merasa khawatir akan kemungkinan berlanjutnya gerakan protes K.H. Ahmad Rifa’i yang baru sampai pada tahap protes menjadi gerakan fisik yang berupa pemberontakan dan penggulingan kekuasaan.
Suatu ketika K.H. Ahmad Rifa’i diberi kesempatan untuk berkhutbah dan dilanjutkan dengan ceramah keagamaan di masjid Wanayasa. Dengan bahasa yang bersyair, ia mengajarkan makna- makna ajaran Islam yang menarik, sehingga banyak yang mengikuti fahamnya. Apalagi dengan ajarannya mengenai keabsahan Islamnya seseorang. Ia menyatakan bahwa Islamnya belum sah bagi mereka yang belum mengikuti fahamnya. Maka hal itu telah mengundang sejumlah besar masyarakat untuk mohon diislamkan kembali oleh K.H Ahmad Rifa’i. Belum lagi mengenai ajaran tentang pernikahan yang dipandangnya tidak sah menikah di hadapan penghulu yang mengabdi kepada colonial karenanya banyak orang kemudian menjadi pengikut K.H. Ahmad Rifa’i.
Perasaan dan sentimen anti-kolonial dan birokrat tradisional tumbuh sumbur di kalangan pengikut K.H. Ahmad Rifa’i. Rasa sentimen itu diaktualaisasikan dalam bentuk sikap- sikap tidak mentaati peraturan pemerintah dan tidak merasa takut kepada para birokrat yang memimpin daerahnya. Salah satu birokrat colonial yang merasa terganggu adalah Bupati Batang. Bupati Batang sebagai penguasa daerah yang membawahi Kalisalak merasakan daerahnya semakin tidak tenteram. Hal ini dikarenakan sering mendapat hambatan dalam melaksanakan tugasnya. Di samping itu, ia menjadi marah karena sering mendapat laporan bahwa K.H. Ahmad Rifa’i selalu mengecam para birakrat di daerah termasuk dirinya.
Untuk mengendalikan ketenteraman di wilayah batang, Bupati batang tidak menunggu adanya gerakan fisik dari para pengikur Ahmad Rifa’i, namun sedini mungkin gerakan itu diusahakan untuk tidak meledak menjadi pemberontakan. Oleh karena itu, Bupati Batang melaporkan semua kegiatan K.H. Ahmad Rifa’i kepada Residen Pekalongan, agar K.H Ahmad Rifa’I diasingkan, laporan ini kemudian diteruskan kepada Gubernur Jenderal A.J. Duymaer Twist di Batavia. Pada tanggal 2 Juni 1855, dengan keputusannya, Gubernur Jenderal Duymaer menolak permintaan residen Pekalongan untuk mengasingkan K.H. Ahmad Rifa’i. Menurut Gubernur Jenderal tuduhan yang ditujukan kepada K.H. Ahmad Rifa’I tidak cukup kuat sehingga tidak bisa dikenakan tindakan pengasingan. Lebih lanjut ia menyarankan agar K.H. Ahmad Rifa’i dipanggil ke pengadilan biasa saja, sehingga ia harus diperiksa. Residen Pekalongan merasa tidak puas dengan jawaban tersebut. Sehingga untuk sementara waktu hanya dilakukan pengawasan dan penyusunan data tentang kegiatan-kegiatan K.H. Ahmad Rifa’i yang dipandang sebagai pelanggaran umum[15].
Pada tahun 1856 Gubernur Duymaer Twiat diganti oleh Gubernur Jenderal Pahud. Sekali lagi Pahud pada tanggal 32 Nopember 1858 menolak permintaan pengasingan terhadap K.H. Ahmad Rifa’i, dengan alasan yang sama, yaitu tuduhannya tidak cukup kuat dan apalagi K.H. Ahmad Rifai sendiri belum diperiksa oleh pengadilan biasa. Oleh karena tidak adanya ketegasan sikap dari Gubernur Jenderal, maka terjadi kegelisahan di kalangan pemerintah tradisional yang menghadapi langsung gerakan K.H. Ahmad Rifa’I dan pengikutnya.
Sebagai tindakan lanjutan, akhirnya penghulu Batang menghadapkan K.H. Ahmad Rifa’i kepada Tumenggung Aria Puspadiningrat, yang dihadiri pula oleh para ulama dari kalanagan birokrat kolonial dan penghulu. Dari perdebatan itulah dicatat beberapa kesalahan K.H. Ahmad Rifa’i. Pada tanggal 30 April 1859, residen Pekalongan sekali lagi mengirm surat kepada Gubernur Jenderal Pahud, yang isinya mohon ketegasan agar K.H. Ahmad Rifa’i diasingkan. Surat itu dilampiri dua surat dari Bupati Batang yang isinya berupa data-data tentang kesalahan- kesalahan K.H. Ahmad Rifai. Pokok persoalannya adalah K.H. Ahmad Rifa’i berpendapat bahwa ajaran Islam didaerahnya kurang sempurna dan hanya orang- orang yang sudah belajar kepada seorang guru boleh dianggap sebagai Islam yang betul. Pengertian ini khusus diterapkan kepada masalah shalat dan pernikahan. Dengan ini berarti K.H. Ahmad Rifa’i dan murid- muridnyalah yang dipandang memliki sifat dan nilai- nilai keislaman yang murni.
Data penguat kesalahan K.H. Ahmad Rifa’i yang disertakan dalam surat tersebut dilengkapi dengan data susulan yang berupa hasil interogasi terhadap K.H. Ahmad Rifa’i pada tanggal 7 Mei 1859, yang disaksikan langsung oleh residen Pekalongan. Pada acara itu hadir pula Bupati Batang dan Jaksa Pekalongan. Tuduhan utamanya adalah bahwa K.H Ahmad Rifa’i mengadakan perpecahan diantara umat Islam dan tidak taat kepada pemerintah kolonial.
Setelah mendapat alasan yang cukup kuat dari hasil interogasi dan surat dari residen Pekalongan, maka Gubernur Jenderal Pahud menjatuhkan surat keputusan No. 35 tertanga; 19 Mei 1859, yang isi pokoknya tentang pengasingan K.H. Ahmad Rifa’i. Didalam pertimbangannya dikatakan bahwa K.H. Ahmad Rifa’i tidak mau tunduk kepada pemimpin pribumi yang diangkat atas nama Kerajaan Belanda dan dengan demikian harus dianggap sebagai bahaya politik. Tindakan itu tidak bersifat hukum resmi, jadi tidak ada perkara pengadilan, tidak diberikan bantuan hukum kepadanya dan tidak dipanggil saksi untuk menyelidiki perkaranya secara lebih mendalam. Tindakan pengasingan tersebut sebagai tindakan politik yang bersifat preventif yang harus menghindari atau mencegah timbulnya hal- hal yang membahayakan keamanan dan ketertiban serta hal- hal yang dapat melemahkan pemerintahan kolonialisme Belanda.
Meskipun dalam pengasingan, semangat K.H. Ahmad Rifa’i tidak pernah pudar. Ia masih sempat menulis empat buah kitab. Disamping untuk keperluan dakwahnya di Ambon, keempat kitab tersebut dikirimkan kepada pengikutnya di Jawa. surat wasiat untuk murid-muridnya yang ditujukan kepada menantunya, Imam Puro. Isi ringkasan surat wasiat itu antara lain:
1.      Agar murid- muridnya senantiasa mengamalkan ajaran kitab tarajumah.
2.      Murid- muridnya supaya berlaku adil, bisa menjadi saksi, memberi fatwa dan mengsahkan keislaman orang yang membutuhkannya.
3.      Agar tetap menjalankan missi amar ma’ruf nahi munkar.
4.      Agar tetap menjaga kalangsungan ajaran Islam dengan baik dan benar
5.      Agar jangan merasa kasihan kepada nasib dirinya

Menilik surat wasiat di tersebut, ternyata idealisme K.H. Ahmad Rifai tetap kokoh. Hal ini sangat mendorong semangat murid- muridnya untuk melanjutkan ajaran serta gerakan protes K.H Ahmad Rifa’i. Berbeda dengan gurunya, para penerus dan pelanjutnya tidak bersikap keras lagi. Mereka melanjutkan ajaran dan gerakan K.H Ahmad Rifa’i dengan cara damai dan menjauhkan diri dari sikap radikal. Dalam penelitian Snouck Hourgronje pada tahun 1890, ketika ia menemui penghulu Pekalongan, pemimpin agama itu terus terang mengemukakan simpatinya terhadap ajaran K.H. Ahmad Rifai.

1.4  Analisis Gerakan
Gerakan protes sosial yang dilakukan oleh K.H Ahmad Rifa’I dari Kalisalak Pekalongan bersama dengan santri serta rakyat setempat dapat dianalisa sebagai berikut:
A.    Terori Gerakan
Gerakan protes sosial K.H Ahmad Rifa’I menggunakan teori Psikologi.   Karena akar dari lahirnya gerakan ini adalah rasa ketidak puasan K.H Ahmad Rifa’I terhadap realita kehidupan sosial, politik, ekonomi dan keagamaan yang terjadi di tengah- tengah masyarakat.
Ketidak puasan K.H Ahmad Rifa’I di bidang sosial bisa dilihat dari bentuk penjajahan yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial Belanda serta birokratnya yang membuat penderitaan bagi rakyat. Dibidang politik dan ekonomi juga demikian. Pemerintahan kolonial Belanda dan birokratnya selalu merugikan rakyat kecil.
Ketidak puasan K.H Ahmad Rifa’I dalam pengaplikasian syari’at- syari’at Islam secara murni, menimbulkan protes dari K.H Ahmad Rifa’I dan pengikutnya. Buktinya bisa kita lihat pernyatan- pernyatan K.H Ahmad Rifa’I yang mengatakan bahwa tidak sah sholat jum’at dan perrnikahan apabila dipimpin oleh ulama dari kalangan birokrat colonial.

B.     Bentuk Gerakan
Bentuk gerakan K.H Ahmad Rifa’I adalah gerakan Exprensif. Gerakan Exprensif adalah gerakan yang dilakukan apabila seseorang/ kelompok tidak sanggup mengubah keadaan, maka mereka mengubah sikap atau realita, gerakan ini bisa dilakukan melalui musik, busana hingga keagamaan.
Dalam prakteknya, gerakan K.H Ahmad rifa’I berusaha mengubah relita kehidupan masyarakat dengan cara menanamkan dontrin anti penjajahan kolonialisme dan birokratnya. Cara yang dilakukan oleh K.H Ahmad Rifa’I dalam mengaplikasikan gerakannya bukan dalam bentuk gerakan fisik, melainkan dalam bentuk ajaran agama dan sya’ir- sya’ir yang mengobarkan semangat anti kolonialisme.
Gerakan K.H Ahmad Rifa’I, berusaha mengubah reaksi masyarakat terhadap kenyataan yang ada, kemudian reaksi ini menimbulkan protes sosial terhadap kenyataan yang ada tersebut. Maka dari itu, dapat dikatan bahwa gerakan yang di prakasai oleh K.H Ahmad Rifa’I adalah gerakan Exptrensif yang diaplikasikan dalam bentuk gerakan protes terhadap kenyataan sosial yang ada di desa Tempuran, Kalisalak Pekalongan.

C.     Jenis Gerakan
Jenis Gerakan K.H Ahmad Rifa’I adalah gerakan modern, karena gerakan ini teroganisir dengan baik, memliki ideologi (doktrin anti kolonial), ada pemimpin yang kompeten, pengikut yang beragam serta berfikir kolektif terhadap keadaan masyarakat yang ada.

D.    Tahap- Tahap Gerakan Prote Sosial K.H Ahmad Rifa’i
Dalam melakukan gerakan protes social di Desa Tempuran, ada beberapa tahap yang dilalui oleh K.H Ahmad Rifa’I, yaitu:
1.      Tahap ketidak tentraman atau ketidak puasan.
Tahap ini dapat dilihat dari ketidak puasan K.H Ahmad Rifa’I ketika pulang dari Mekkah, ia melihat keadaan masyarakatnya yang tertindas di kehidupan social, ekonomi, politik serta dibohongi dengan bid’ah dalam pelaksanaan ajaran agama Islam.
2.      Tahap Peransangan.
Tahap ini dapat dilihat dari bentuk aktifitas dakwah dan sya’ir- sya’ir yang dikobarkan oleh K.H Ahmad Rifa’I. Aktifitas dakwah dan sya’ir- sya’ir tersebut mengobarkan semangat anti kolonial dan menimbulkan rasa kebencian terhadap penjajahan kolonialisme serta birokratnya.
3.      Tahap Formalisasi
Muncul sosok K.H Ahmad Rifa’ai dengan gagasan- gagasannya, pengikutnya serta diterimanya doktrin K.H Ahmad Rifa’I, merupakan bentuk tahap Formalisasi.
4.      Tahap Institusionalisasi
Ketika K.H Ahmad Rifa’I diasingkan ke Ambon, maka gagasan- gagasanya dilanjutkan oleh para pengikutnya, dengan demikian secara tidak lansung, gerakan ini selanjutnya diambil alih kepemimpinannya oleh para pengikutnya.
5.      Gerakan Pembubaran (disolusi)
Walaupun K.H Ahmad Rifa’I meninggal dalam pengasingan di Ambon, tapi ajaran dan gagasanya tetap di jalankan oleh para pengikutnya. Hingga para pengikutnya tersebut mendirikan sebuah organisasi yang bernama Rifa’iyah.












BAB III
PENUTUP

1.1  Kesimpulan
Gerakan protes sosial yang diprakasai oleh K.H Ahmad Rifa’I merupakan sebuah rekasi ketidak puasan masyarakat terhadap pemerintahan kolonialisme serta birokratnya dari kalangan pribumi Jawa. Melihat keadaan yang ada, K.H Ahmad Rifa’I mencoba mengubah realita yang ada dengan pendekatan agama.
Hidup dilingkungan keluarga yang agamis membuat kebiasaan K.H Ahmad Rifa’I dekat dengan ajaran agama dan Al- qur’an, terbukti ia menuntut ilmu agama di Mekkah dan Messir serta berguru kepada ahli- ahli fiqh, tafsir hingga hadits.
Sebagai seorang yang berilmu, melihat keadaan masyarakat setempat menumbuhkan rasa empati terhadap dirinya, sehingga muncul rasa ketidak puasaanya terhadap pemerintahan kolonial. Ketidak puasannya tersebut, direalisasikannya dalam bentuk protes. Dalam sikap protesnya, K.H Ahmad Rifa’I mendoktrin masyarakat dengan doktrin anti kolonialisme.
Gerakan sosial yang dilakukan oleh K.H Ahmad Rifa’I bukan gerakan dalam benturan fisik, melainkan gerakan secara ideologi yang diaplikasikan dalam bentuk khotbah dan sya’ir yang membakar jiwa anti kolonialisme di tengah- tengah masyarakat.
Berkembang pesatnya ajaran K.H Ahmad Rifa’i. menimbulkan kekhawatiran di kalangan kolonial, hingga akhirnya K.H Ahmad Riafa’I diasingkan ke Ambon dan meninggal dalam pengasingan tersebut. Walaupun beliau telah meninggal, namun gagasan serta ajarannya tetap dilanjutkan oleh pengikutnya, bahkan ajarannya tersebut di abadikan dalam sebuah oerganisasi yaitu Rifa’iyah.
1.2  Saran
Makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu penulis mengharapkan masukan, saran serta kritikan yang membangun dari pembaca demi kebaikan di masa yang mendatang. Penulis mengharapkan, supaya makalah ini dapat menambah wawasan baru bagi kita semua, semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua terutama bagi penulis sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Ariwiadi. 1979. Ikhtisar Sejarah Nasional Indonesia (Awal- Sekarang. Jakarta: Depertemen Pertahanan - Keamanan
Amin, Syadzirin. 1989 Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh H. Ahmad Rifa’I RH. Jakarta: Masjid Baiturrahman.
Adaby Darban, “Gerakan Protes K.H. Ahmad Rifa‟I Dalam Perspektif Sejarah”, Makalah, Yogyakarta: Panitia Seminar, 1990. (Jurnal- PDf)
Ricklef. M.C. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sartono Kartodirdjo. 1992. Pengantar Sejarah Ibdonesia Baru, Jakarta: Gramedia.
Steenbrink, Karel A. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad 19. Jakarta: Bulan Bintang.
Sartono Kartodirdjo. 1988. Pemberontakan Petani Banten. Jakarta: Pustaka Jaya



[1] Ariwiadi. Ikhtisar Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta. Depertemen Pertahanan. 1979. Hal 35
[2] Ariwiadi. Ikhtisar Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta. Depertemen Pertahanan. 1979. Hal 35

[3] Ariwiadi. Ikhtisar Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta. Depertemen Pertahanan. 1979. Hal 35
[4] Syadzirin Amin, Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh H. Ahmad Rifa’I RH., Jakarta: 1989.
[5] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1988, Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, hal. 207-240.
[6] M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarya: Gadjah Mada University Press, 1992.
[7] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Ibdonesia Baru, Jakarta: Gramedia, 1992, hal. 151-152.
[8] Abdul Jamil. Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerakan KH Ahmad Rifa’i.Lkis. Yogyakarta: 2001.
[9] Imam Syafi’I adalah satu dari empat Imam Fiqh yang ternama, yaitu Imam Hanafi, Imam Maliki dan Imam Hambali.
[10] Salah satu ulama Ahlusunnah Waljama’ah. Kelahiran Messir, bernama lengkap Burhanuddin Ibrahim al-Bajuri bin Syeikh Muhammad al-jizawi bin-Ahmad.
[11] Syadzirin Amin, Mengenal Ajaran Tarjumah Syaikh H. Ahmad Rifa’I RH., Jakarta: masjid Baiturrahman, 1989.
[12] Orang yang mengetahui suatu kebenaran, namun tidak mau melaksanakannya.
[13] Mengada- adakan sesuatu mengenai agama, padahal tidak ada sunnahnya maupun perintah al- qur’an.
[14] Adaby Darban, “Gerakan Protes K.H. Ahmad Rifa‟I Dalam Perspektif Sejarah”, Makalah, Yogyakarta: Panitia Seminar, 1990. (Jurnal- PDf)
[15] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad 19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sebuah Laporan KKL: Jejak-Jejak PDRI di Nagari Sumpur Kudus

Kau Usir Aku Dengan Cara Mu

Kami Tidak Sama, Namun Kami Satu