Catatan Perjalanan: Melangkah Di Atap Sumatera
Atap
Sumatera
(Melangkah
Di Puncak Kerinci)
“
Kerikil-kerikil kecil
disekitar kami berbisik menyeru agar kami segera turun secara perlahan, angin
badai yang datang dari selatan menghantam tenda kami, frame-frame penunjang
tenda kami patah dan retak, udara dingin masuk melalui sela-sela jacket, sarung
tangan, kaus kaki, penutup kepala hingga sampai di paru-paru dan membuat
sekujur tubuh ini menggigil seketika. Suasana yang penuh ketegangan ini mebuat
saya sadar, bahwa detik ini saya berdiri di Atap Sumatera, inilah Gunug
Kerinci.
Bismillahhirrahmaanirrahim…
Penunjuk waktu Swiss Army yang meililit di pergelangan tangan kiri saya
menunjukan jam 13:00 WIB, dengan menggunakan sepeda motor, saya dengan beberapa
orang teman memulai perjalanan dari Kota Padang menuju Sekepal Tanah Syurga di
lereng gunung Kerinci yaitu Kabupaten Kerinci. Berjalan dibawah terik matahari,
panas membakar kulit, bising lalu lintas jalan raya membuat telinga berjuang
keras untuk memilah mana yang harus didengar mana yang tidak. Masyarakat kota
Padang masih terlena dengan suasana tahun baru, Kamis 4 Januari 2018, membuat
jalan raya penuh sesak oleh kendaraan roda dua maupun roda empat.
Selang bebarapa waktu
perjalan, kami sejenak berhenti di Simpang Haru menunggu dua orang teman yang
pergi menjemput carrel ke kost temannya, beberapa menit kemudian perjalanan
kami lanjutkan membelah kota Padang melalui jalur baypas, saat ini kami berada
di jalur Sitinjau Laut, jalur yang terkenal dengan tanjakan ekstrimnya, tak
terhitung lagi jumlah kecelakaan yang terjadi disini. Kami begitu terkejut saat
salah seorang dari kami memintak untuk berhenti, setelah kendaraan kami
pinggirkan di jalan raya, dia sibuk memeriksa tas, kantong, celana dan jok
motor, kami hanya bisa menyaksikan dengan penuh penasaran, suasana tak menentu
ini pecah ketika dia berkata “hp nokia saya mana”. Ternyata dia kehilangan hp,
flassback kebelakang ternyata hp-nya tinggal ketika kami beristirahat tadi di
simpang Haru. Dengan mempertimbangkan jauhnya rute yang akan kami lalui, kami
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan tanpa balik ke belakang mencari hp-nya,
kerut keningnya menampakan dia ikhlas namun terpaksa, seperti seekor anak
kucing yang ingin menyusu kepada induknya, namun sang induk menolak bahkan
memarahinya.
Kami memacu kendaraan
dengan cepat, melintasi rute Sitinjau Laut yang penuh dengan misteri,
selang-seling berpapasan dengan kendaraan besar, truk-truk besar membawa
hasil-hasil industri dari arah berlawanan, ada yang melaju bagaikan halilintar
ada juga yang merangkak layaknya keong, suasana dingin ditutupi kabut menjelang
sore sehingga kami harus sangat hati-hati karena jarak pandang yang terbatas.
Disela-sela kabut yang menyelimuti perjalanan kami, kami menyaksikan kota
Padang dari ketinggian, kedap-kedip lampu jalan kota Padang terbentang secara
horizontal, hingga terbentuk sebuah pelangi darat yang begitu indah.
Perjalanan masih
panjang, saat ini kami sudah memasuki Kabupaten Solok, azan magrib telah
menyeru kami berhenti sejenak di sebuah pertamina untuk melaksanakan sholat
magrib dan mengisi bensin. Setelah dirasa cukup, perjalanan kami lanjutkan saat
ini kami melintasi jalan raya Solok-Solok Selatan-Kerinci, kami memasuki
kawasan Kebun Teh Alahan Panjang, berjalan ditengah-tengah kebun teh layaknya
berjalan di Antartika, udara dingin menyelinap masuk ke rongga-rongga tubuh,
kendaraan kami pacu sebisanya, karena tidak kuat menahan dingin.
Kami merencanakan
menginap dulu semalam di Alahan Panjang, salah seorang teman yang juga akan
ikut ke Kerinci berdomisili disini, tepatnya di Bukit Sileh Kabupaten Solok. Baru
saja kami sampai dirumahnya, minuman penghangat badan lansung kami mintak,
maklum kami adalah tamu, kopi panas menjadi pengalih dingin sementara, seusai
makan malam kami menghangatkan tubuh dengan cara berendam di kolam pemandiaan
air panas yang terkenal disini, sejenak memang udara panas menjalar di seluruh
tubuh ini, tapi apabila beranjak keluar dari kolam itu udara dingin lansung
mengalahkan udara panas, kami pun mengigil kedinginan.
Jam menunjukan 23:00
waktunya kami mengistiraharkan raga ini, raga yang lelah berjalan seharian,
kami tertidur dengan nyenyak tanpa tahu lagi apa yang terjadi. Sentuhan sendok
gula pasir di pinggir gelas, menciptakan sebuah nada klasik yang nyering namun
menenangkan, kami terbangun kala Swiss Army menunjukan jam 08:00 WIB pagi, saya
melangkah keluar rumah, bintik-bintik cahaya mentari masuk melalui flafon rumah
menciptkan bayangan fatamorgana yang menyilaukan. Duduk didepan rumah, ditenami
segelas teh panas, dari barat saya saksikan mentari terbit dari balik bukit
barisan, cahayanya dipantulkan oleh sepasang danau kembar yaitu danau di atas
dan danau di bawah, dua danau yang terletak berdekatan dan penuh dengan
misteri. Pemandangan ini sangat menabjubkan, saya mengahadapkan wajah ini ke langit,
dalam hati saya berbesik “inilah lukisan alam Sang Pencipta”.
Kami meninggalkan Bukit
Sileh, membelah kembali jalan raya menuju tanah Kerinci. Tidak jauh dari tempat
kami menginap, kami berjalan dipinggir danau kembar, pemandangan yang sangat
menarik, danau yang berada di tengah-tengah perbukitan, dihiasi tebing-tebing
tinggi, airnya jernih, beriak sedikti demi sedikit, menampakkan ketenagan namun
menghanyutkan, begitulah keyakinan masyarakat sekitar danau. Lagi-lagi kami
tidak bisa memacu kendaraan terlalu kencang, bukan karena suasana dingin lagi,
namun keadaan jalan berlobang membuat kami harus sangat waspada, lengah sedikti
saja fatal akibatnya.
Kami memasuki Kabupaten
yang tergolong muda di provinsi Sumbar yaitu Kabupaten Solok Selatan, kabupaten
yang terkenal dengan kekayaan emasnya. Kembali kami melewati rute kebun teh,
yaitu kebun teh mitranya kebun teh Kayu Aro. Rute ini sedikir berbeda dari rute
sebelumnya, karena rute ini menayjiakn pemandang gunung kerinci nan indah, dari
sini terlihat jelas kokohnya gunung Kerinci berdiri tegak di sana, sunguh sangat
menakjubkan.
Assalamu’alaikum
Kerinci…
Kami memasuki kabupaten
Kerinci, namun perjalanan masih panjang silih berganti suasana perjalanan, dari
satu kecamatan ke kecamatan lainnya. Tanpa terasa kami sudah berada di
tengah-tengah lautan hijau, laut yang membentang daratan, ombaknya dibawa oleh
angin yang berhembus, inilah dia Kebun Teh Kayu Aro, kebun teh tertinggi nomor
satu di dunia dan terluas nomor dua di dunia. Terbentang dari barat ke timur,
selatan ke utara, sejauh mata memandang mata dimanjakan pemandangan hijau yang
segar, sejuk dan tenang. Melihat luasnya kebun teh ini, saya teringat kata guru
waktu di Madrasah dulu, kerajaan King Sulaiman yang begitu perkasa, istananya
megah diselimuti permadani berwarna hijau, layaknya seperti yang saya lihat
detik ini.
Akhirnya kami sampai di
kecamatan Sulak Panjang, disini kami akan menginap selama berada di Kerinci,
dirumah seorang teman, guru sekaligus lawan dalam berdebat Aseng Yulanda saya memanggilnya. Kami memberikan waktu yang cukup
kepada raga ini untuk beristirahat sebelum kami memulai perjalanan baru, yaitu
mentaklukan puncak tertinggi di Pulau ini, yaitu gunung Kerinci dengan
ketinggian 3805 mdpl adalah misi utama perjalanan ini.
Beberapa waktu setelah
sampai di keceamatan Sulak Panjang, dirasa sudah cukup segala persiapan untuk
memulai pendakian mentaklukan atap Sumatera itu, Gunung Kerinci. Selasa 9
Januari 2018, tepat jam 09:00 WIB kami memulai perjalanan, namun disayangkan
sekali satu orang diantara kami tidak bisa ikut mendaki karena sakit, tapi
pendakian tetap kami lanjutkan. Kami mengendarai sepeda motor dari Sulak
Panjang menuju jalur pendakian yaitu Tugu Macan yang terletak di kecamatan Kayu
Aro. Kami menitipkan motor di salah satu warung warga yang menjadi tempat
penitipan kendaraan bagi pendaki, cukup membayar 20.000 ribu saja, motor
dijamain keamanannya sampai kita kembali.
Perasaan khawatir
bercampur cemas mulai merasuk ke dalam jiwa saya, ini adalah pengalaman mendaki
pertama dalam hidup saya, belum memiliki pengetahuan tentang gunung, belum
pernah mendaki gunung-gunung yang ketinggiannya tidak setinggi gunung Kerinci,
tapi saya tidak takut dan menyerah berlarut-larut, dengan semangat yang
menggelora dari dalam diri, saya harus mentaklukan puncak tertinggi di Pulau
Sumatera ini.
Kami memulai pendakian
dengan memasuki Pintu Rimba, disini kami menemukan ucapan selamat datang bagi
para pendaki, disini juga para pendaki mendapatkan informasi dan gambaran
mengenai jalur pendakian melalui spanduk yang ditempelkan di pintu rimba. Beberapa
saat perjalanan dari pintu Rimba, melewati jalur yang masih datar, belum
terlalu menanjak, namun udara dingin dan basah pegunungan sudah mulai terasa,
bisik-bisik penghuni rimba menjadi hiburan kami selama perjalanan, jalur yang
basah, becek, berlumpur adalah tantangan tersendiri, ketika raga ini mulai
mengeluh, otot-otot kaki mulai memberontak, paru-paru tak karuan mengluarkan
nafas, semua memintak untuk berhenti dan kembali. Namun disisi lain, jiwa berkata
“kamu harus mampu”, semangat semacam itu terus dilontarkan oleh jiwa ini,
hingga terjadi tawar menawar dalam diri.
Sesudah melewati
perjalanan dari Pintu Rimba, kami sampai di pos pertama, Bangku Panjang demikian masyarakat
menamainya, ketinggian disini mencapai 1890 mdpl, sudah cukup tinggi. Kami
sejenak beristirahat sambil minum air, mengumpulkan kembali tenaga untuk
melanjutkan pendakian, semua nampak capek, letih, sakit, kram namun dibalik
wajah-wajah kecapek an itu tersimpan semangat yang besar.
Dengan semangat dan
tenaga yang tersisa kami melanjutkan pendakian untuk menuju pos kedua yang berjarak lebih kurang 750 m dari
pos pertama. Kami terus bergerak mendaki, jalur pendakian sudah mulai agak
menantang, tanjakan-tanjakan selalu berada di depan kami, tak jarang diantara
kami banyak yang memintak untuk beristirahat sejenak di jalan. Tidak lama dari
pos pertama akhirnya kami sampai di pos kedua yaitu pos Batu Lumut, ketinggian
disini mencapai 2010 mdpl, sungguh sangat tinggi. Disini kami berhenti agak
lama, karena kami menunggu beberapa orang teman yang jauh tertinggal di
belakang, maklumi saja tanjakannya sudah mulai menantang.
Semua sudah berada di
pos kedua, semua sudah minum air, semuapun sudah kembali menemukan tenaganya,
pendakian kami lanjutkan. Semakin tinggi kami mendaki maka jalurnya pun semakin
tajam dan ekstrim, butuh tenaga lebih, stamina yang prima untuk dapat
melanjutkan pendakian ini, diantara kami berjalan layaknya keong, walaupun ada
satu atau dua yang agak lebih cepat. Diperjalanan dari pos kedua menuju pos ke
tiga, ada satu kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan sebagai pengalaman
mendaki pertama dalam hindup saya, dimana saya harus kembali beberapa meter
kebawah menjemput alat masak yang tertinggal oleh saya. Kejadian ini bermula
ketika salah seorang diantara kami mengalami kram dibagian kaki kirinya, maka
dengan cepat saya membantunya, setelah selesai kami melanjutkan perjalanan,
saya baru sadar setelah lebih kurang 30 menit perjalanan bahwa alat masak
tertinggal, dan saya pun harus kembali menjemputnya, saya turun sambil berlari,
dihantui bayang-bayang tersesat dirimba karena saya adalah pendatang, akhirnya
alat masak itu saya temukan dan saya kembali kedalam rombongan. Selang beberapa
jam kami sampai di pos ke tiga (saya lupa nama pos dan ketinggiannya), disini
kami bertemu dengan pendaki lain yang berasal dari Medan, Pekanbaru dan
Surabaya. Kami berhenti dan membuat kopi panas, karena udara sudah sangat
dingin.
Kami melanjutkan
perjalanan menuju Shalter 1, disana kami merencanakan mendirikan tenda dan
istirahat mala ini, rute menuju Shalter 1 sangat melelahkan, licin, penuh
tanjakan dan terkadang membahayakan, tepat 17:35 kami sampai di Shalter 1
dengan ketinggian 2505 mdpl, disini kami berjumpa dengan pendaki lainnya, ada
yang mau naik dan ada yang mau turun, kami mendirikan tenda secepatnya karena
diatas sana awan hitam telah memberi kode kalau hari mau hujan. Benar saja baru
saja tenda selesai kami dirikan rintik hujan mulai membasahi Shalter 1, udara
dingin tidak terbendung, angin pun tak memihak kami, dia datang sari segala
penjuru hingga menambah suasana dingin. Saya masuk ke dalam tenda, memakai kaus
kaki, sarung tangan, jacket dan baju berlapis namun tak sedikitpun mengusir
hawa dingin ini.
Dari kejahuan saya melihat
mentari mulai bersembunyi dibalik puncak gunung Kerinci, malam pun datang
dengan kegelapan dan kedinginannya, Bulan dibuat mengalah oleh awan hitam yang
berkuasa malam ini, langit dunia hampa, tanpa bulan tanpa bintang satupun malam
ini, sunyi, lembab, gelap, dingin, begitu hampa malam ini. Setelah kami makan
malam dengan racikan apa adanya kami beristirahat untuk melanjutkan pendakian
di esok harinya.
Kami kembali
melanjutkan pendakian, meninggalkan Shalter 1 menuju Shalter 2, lagi-lagi
tracknya sungguh sangat melelahkan, jalanya licin, berlumpur, terkadang kami
hanya bergantung kepada akar-akar pohon sebagai gantungan dan pijakan kami,
salah memilih pijakan maka akibatnya fatal. Berjalan di tengah rimba yang
terrnasuk ke dalam kawasan Taman Nasional membuat kecemasan kami berlipat
ganda, karena dimana saja kawasan Taman Nasional, artinya tempat itu adalah
rumah bagi Sang Raja hutan. Melewati tanjakan tajam, pohon-pohon besar,
akar-akar kayu, ditambah lagi dengan udara dingin yang menusuk tulang membuat
kami cepat kehilangan tenaga, bibir mulai kering dan pecah-pecah, ujung jari
mulai mati rasa, telinga mulai mendengung tanda mereka sudah mulai kelelahan,
tapi perjalanan belum berakhir, kami harus mencapai Shalter 2 secepatnya.
Dengan langkah goyah,
dari kejahuan saya menyaksikan udara terang diatas sana, saya yakin itu adalah
Shalter 2, dengan semangat tinggi saya terus mengejar cahaya itu, namun semakin
saya kejar semakin jauh dia berlari, dengan langkah seperti keong, akhirnya
kami sampai di Shalter 2. Namun ketika sampai di Sahlter 2 kami kehabisan air,
dengan harapan di Shalter 2 ini ada sumber air terdekat, tapi setelah beberapa
orang diantara kami berusaha mencari air, air tidak kami temukan. Dengan bekal
apa adanya, kami melanjutkan pendakian menuju Shalter 3.
Pendakian menuju
Shalter 3 adalah yang terberat, kami harus memanjat tebing, melewati akar
pohon, merunduk dibawah batang pohon yang tumbang, bergantungan dan saling
tarik menarik, melewati jalur yang gelap karena tidak tembus cahaya mentari. Kami
terus melangkah sedikti demi sedikit, diperjalanan menuju Shalter 3 kami
berjumpa dengan pendaki dari Singapura, mereka mau turun. Sekitar jam 16:00 WIB
akhirnya kami sampai di Shalter 3 dan puncak gunung Kerinci. Saya merasakan
tubuh saya tidak kuat lagi, udara dingin dan bau belerang sudah mulai masuk
kedalam paru-paru, bibir sudah pecah-pecah, ujung tangan, ujung kaki, lutu,
paha, hidung semuanya lelah, sehingga membuat badan ini pusing, kepala terasa sakit
dan diiringi rasa mual. Setelah tenda didirikan saya lansung masuk ke tenda dan
beristirahat sejenak tanpa menyaksikan pemandangan terlebih dahulu.
Sayup-sayup saya
mendengar canda dan tawa teman-teman dibalik tenda, dengan tubuh yang belum
kembali fit seperti semula, saya paksakan kaki ini melangkah ke luar tenda,
alangkah kagetnya saya menyaksikan apa yang ada di depan mata ini..
Alhamdulillahhirabbila’alamin…
saya sudah berada di Puncak Sumatera, Puncak gunung Kerinci, gunung tertinggi
di Pulau ini. Saya saksikan sekeliling saya pemandangan yang begitu
menakjubkan, indah, luar biasa. Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh
terlihat jelas dibawah sana, lautan hijaun Kayu Aro memaparkan permadani
keindahannya, danau gunung Tujuh disebelah sana terlihat bagaikan telaga
al-Kautsar di Syurga, airnya jernih, memantulkan cahaya kemerahan sang mentari
yang sudah mulai kembali bersembunyi di balik puncak ini.
Saya langkahkan kaki menjahui
teman-teman yang sedang asyik berfoto, sejenak saya hadapkan wajah ini
memandang alam lepas, perbukitan terhampar seperti ombak di pantai, awan putih
yang jernih berada dibawah kaki saya, perkebunan warga, rumah-rumah warga,
danau dan semuanya terlihat jelas dengan indah disini, seketika mata saya
berkaca-kaca dan tak terbendung lagi, akhir mutiara yang saya simpan dibalik
sepasang kelopak mata itupun jatuh berderai memasahi pipi, saya begitu takjub
melihat keindahan lukisan alam karya Sang Pencipta, hilang semua keegoan dalam
diri, runtuh semua kebahagian duniawi, hancur lebur hati ini, tatkala saya
mengingat kesalahan, kesombongan dan kekufuran selama ini, ampuni hamba Ya
Rabbi, hati saya merintih.
Saya bersyukur
sedalam-dalamnya, kata-kata Alhamdulillah tak putus-putus saya utarakan, Tuhan
memberikan saya kesempatan untuk menyaksikan ciptaan-Nya dari ketinggian 3805
mdpl disini, memang Dia lah yang Maha Tinggi, Maha Agung, Maha Perkasa, Maha
Kaya, Maha Pencipta dan Maha Segala-galanya. Sedangkan manusia hanyalah makhluk
lemah yang tak dapat berbuat apa-apa kecuali atas izinya, manusia hanya satu
dari sekian banyak makhluk yang diciptakan-Nya, manusia hanyalah seorang hamba
yang seharusnya setiap saat mengingat Kebersaran Rabbi, selalu bersyukur dan
bertawaduk.
Disaat saya semakin
memaknai apa yang ada didepan saya, bentangan alam yang begitu luas, indah,
cantik dan menakjubkan saya teringat pesan orang tua:
“Gunung adalah cipataan tuhan yang paling tinggi,
tapi manusia adalah ciptaan tuhan yang paling sempurna.
Maka
gunakanlah kesempurnaan itu untuk mentaklukan ketinggian”
Hari ini adalah hari
yang bersejarah dalam hidup saya, Kamis 11 Januari 2018 dengan pengalaman
pertama mendaki dalam hidup ini, saya telah berhasil melangkahkan kaki di Atap Sumatera dan mentaklukannya dan
tentunya ini tidak akan pernah terlupakan…
………Melangkah
di Atap Sumatera………
Kerinci,
11 Januari 2018
Komentar
Posting Komentar